SETIAP kesenian, dengan berbagai ragam bentuk dan jenisnya, tak dapat dipungkiri membawa misi dan muatan untuk membuka mata batin siapa saja yang menikmatinya. Sengaja saya gunakan istilah menikmati di sini untuk membedakannya dengan pemahaman menonton, kecuali sesni hanya sebagai hiburan. Secara kasuistik, orang-orang yang datang (dan berharap) menikmati sebuah pertunjukan, seringkali terperangkap pada kealpaan untuk menangkap muatan yang ditanamkan dalam sebuah pertunjukan. Maka, mereka tak lebih hanya berada pada posisi menonton –dengan berbagai kegamangan dan tanda tanya, bukan menyaksikan apalagi menikmati.
Di sini kemudian, kesenian dan pelaku seni berlaku dinamis. Perubahan demi perubahan terjadi sebagai keniscayaan zaman. Ya, salah satu keunggulan dari manusia adalah keikhlasan untuk senantiasa berubah, berkembang, sekaligus mencatat kehilangan demi kehilangan.
Perkembangan dan keikhlasan atas setiap kehilangan terasa benar ketika Parade Teater Bali 2011 digelar. Berbagai revitalisasi bentuk dalam pertunjukan teater secara gamblang ditunjukkan, meski sebenarnya beberapa perubahan tersebut telah terjadi sejak lama. Contoh sederhana, Tantri karya Putu Satria Kusuma dari Kampung Seni Banyuning-Singaraja, misalnya, mengoyak-ngoyak kedalaman penikmatnya dengan konsep teater kampung yang menyilangkan nilai tradisi dan kontemporer. Atau lihat pula Bali Eksperimental Teater-Jembrana dengan Rezim-nya yang menghilangkan kata untuk menghapus jarak bahasa dengan audience. Mereka hanya menggunakan gerak, suara, dan bunyi untuk menggantikan bahasa verbal yang pada umumnya dipergunakan dalam teater konvensional.
Keadaan ini terjadi pula pada kelompok lainnya yang berpartisipasi dalam Parade Teater Bali 2011: Teater Kini Berseri (Kisah Cinta dan Lain-Lain), Teater Sastra Welang (Orang Kasar), Teater Kampus Seribu Jendela (Kereta Kencana), Teater Jineng Smasta (Nyi Ontosoroh), Teater Lah 24 (Antigone), dan Teater Bendrat (Pesta Para Pencuri), yang mengambil bentuk berbeda satu sama lain, bermain-main dengan ragam artistik simbolik, dagelan, memunculkan satir dalam panggung pertunjukan. Namun demikian, seluruhnya, tetap berujung pada satu titik: terjadinya interaksi dua arah, bersamaan dengan tafsiran kreatif sebagai reaksi atas dinamika semesta kehidupan, dalam berbagai eksplorasi bentuk, gerak, dan dialektika. Ini sejalan dengan pemahaman teater oleh Bernard Beckerman dalam bukunya Dynamics of Drama, yang mendefinisikannya sebagai, yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain.
Dilematis
Teater tumbuh dan berkembang, jelas karena faktor seniman yang menghidupinya. Menghidupi, dalam pemaknaannya tentu tak lepas dari berbagai faktor kendala dan persoalan yang dihadapi. Secara jujur juga harus diungkapkan, kebanyakan kelompok teater masih kewalahan dalam setiap akses pendanaan untuk menunjang pementasan. Sebuah persoalan klasik, yang berpengaruh begitu besar terhadap sebuah pertunjukan. Maka seniman pun berada pada posisi dilematis dalam menghidupi kelompok teaternya sendiri, terengah-engah dalam pergulatannya sendiri.
Namun, tetap saja, pertunjukan teater sebagai ekspresi estetik artistik berjalan walau hanya dengan dana yang minim dan pas-pasan. Dalam posisi seperti ini, seniman, hampir dapat dipastikan, tidak akan mendapatkan kepuasan total dalam kerja seninya. Berbagai letupan inspirasi dan keinginan jarang sekali menemukan pelampiasannya. Secara sadar atau tidak, mereka seringkali “merasa gagal” menerjemahkan konsep artistik pemanggungan yang tersimpan di dalam ruang imajinasi yang liar, sehingga hanya bisa mengelus dada dengan melakukan eksplorasi yang disesuaikan dengan dana yang dimiliki sebelum karya dilempar ke publik.
Ini adalah sebuah tantangan. Disamping meningkatkan kualitas pertunjukan, tentu saja, formulasi yang bisa diberikan, misalnya dengan membuka ruang-ruang dialog yang lebih komunikatif melalui pembebasan bahasa-bahasa simbol di atas panggung pertunjukan bisa dilakukan, tanpa harus mengabaikan kedalaman makna sebagai respon teks atas konteks. Langkah lain, misalnya, dengan merespon isu-isu kekinian, baik secara lugas liar maupun artistik simbolik yang dekat dengan keseharian.
Ya, di tengah gempuran industrialisasi hiburan, teater (termasuk juga bentuk kesenian lainnya) juga harus mampu merespon setiap tantangan zaman yang dihadapinya. Jika tidak, hanya satu yang hampir bisa dipastikan akan terjadi: teater kembali mendekam di ruang-ruang sunyi, sepi, dan menyendiri!
Foto: Agus Wiryadhi Saidi
Muntahkan pikiranmu, sobat...