Pemkab Jembrana harus selektif dan cermat mempersiapkan tenaga kerja (naker) ke luar negeri. Khusus kepada para naker Jembrana yang akan bekerja atau magang ke luar negeri, seperti Jepang, Bupati Prof. Dr. I Gede Winasa tidak menginginkan mereka yang telah dipersiapkan sedemikian rupa menuai masalah akibat lembaga yang menanganinya bermasalah. Tidak hanya sebatas itu, Bupati Winasa juga menyinggung pentingnya kesadaran para naker untuk menjaga nama baik Kabupaten Jembrana selama bekerja di tempat bersangkutan. Ia tidak menginginkan, ada naker magang asal Jembrana yang merusak hubungan baik dengan pihak user di Jepang, seperti keluar dari pekerjaan atau lari dari Jepang.
Berdasarkan evaluasi terhadap 11 angkatan yang telah dilepas untuk magang di Jepang sebelumnya, Bupati Winasa melihat ada beberapa permasalahan yang terjadi, yang membutuhkan penanganan segera. Berbagai sisi harus dibenahi agar tidak mengecewakan user di Jepang, salah satunya Koperasi Sukuba, yang telah menjalin kerjasama sejak awal dirintisnya pemagangan ke Jepang.
“Saya tidak ingin ada naker magang yang keluar dari Koperasi Sukuba, apalagi lari dari Jepang. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu akan membawa dampak buruk bagi hubungan kerjasama ini. Yang dipertaruhkan bukan hanya nama daerah (Jembrana-red), tetapi juga merugikan diri sendiri dan keluarga. Saya harap, tidak ada naker yang menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan,” tegas Prof. Winasa.
Untuk masalah ketenagakerjaan tersebut, Bupati Winasa terpaksa mengambil sikap tegas. Kondisi ini juga berpengaruh pada latar belakang para naker magang yang diberangkatkan. Jika pengiriman naker ke Jepang sebelumnya tidak memandang latar belakang keluarga, pengiriman angkatan ke 12 lebih selektif. 33 naker yang diberangkatkan berasal dari keluarga kurang mampu, yang berusia antara 20 tahun hingga 25 tahun. Mereka akan bekerja selama 3 tahun dengan pola pemagangan di bidang pertanian yang meliputi peternakan dan perkebunan.
“Seperti angkatan sebelumnya, tentu mereka juga harus menjalani tes dan pelatihan yang cukup ketat. Mereka wajib menguasai bahasa Jepang dan memahami budaya masyarakat setempat. Meskipun hanya pemagangan, naker Jembrana harus dididik dan dilatih untuk siap bekerja di luar negeri. Tapi kenapa saya lebih memprioritaskan naker yang berasal dari keluarga kurang mampu? Secara umum, mereka tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Saya yakin, mereka memiliki semangat dan motivasi yang lebih tinggi untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Kalau memberangkatkan naker dari keluarga mapan, kadang mereka akan mengabaikan pekerjaan walaupun tidak seluruhnya berperilaku seperti itu,” papar Bupati Winasa.
DI sisi lain, Bupati Winasa juga mengultimatum staf yang menerima sogokan dari para naker. Tentu, ia tidak menginginkan timbul kecemburuan diantara para calon naker akibat “uang pelicin” dari calon naker yang sesungguhnya tidak memenuhi persyaratan menjadi naker magang ke Jepang.
“Saya hanya ingin memberikan keadilan bagi mereka. Jika memang calon naker dinilai mampu dan layak, mereka harus diberangkatkan. Kalau ada yang lulus karena sogokan, tolong sampaikan langsung ke saya. Saya tidak perlu menunggu lama-lama. Kalau ada staf yang disogok, saya akan langsung hentikan staf itu. Maaf kalau saya harus keras. Ini demi kebaikan kita bersama,“ pesan Winasa kepada orang tua naker.
Kontribusi
Bekerja atau magang di Jepang memang menjadi peluang emas bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup. Setelah kesempatan itu tiba, tentu seluruhnya kembali pada diri naker yang diberangkatkan. Dalam artian, bagaimana naker mampu memberi nilai tambah bagi diri sendiri dan keluarga.
“Kalau kontribusi untuk pemkab, itu masalah terakhir. Sesuatu yang mustahil jika ada naker yang pulang tanpa membawa hasil. Jika hal ini sampai terjadi, masalah tentu ada pada naker bersangkutan, terutama mengenai pola hidup mereka saat bekerja atau magang di Jepang,” demikian Bupati Winasa, seraya menambahkan dalam waktu dekat akan melanjutkan kerjasama dalam bidang pendidikan dengan Jepang.
Orientasi di dalam membangun Jembrana yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dinilai sangat tepat dilakukan di tengah menurunnya kualitas sumber daya alam. Apresiasi tersebut sempat dilontarkan Ade Adam Noch, Deputi Bidang Penempatan BPPTKI (Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia). Sebagai lembaga pemerintah non departemen, BNPPTKI berperan di dalam memfasilitasi perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri. Untuk penempatan TKI di Jepang, Indonesia diberikan kuota 1000 orang. Saat ini, peluang masih tersisa untuk 700 orang.
Ade Adam Noch juga menyarankan agar Pemkab Jembrana meningkatkan pola kerja sama dengan pihak Jepang dengan mengirim masyarakat untuk bekerja tetap di sana, bukan sebatas magang. Karena jika hanya mengirimkan naker magang, penghasilan yang diterima tentu lebih rendah. “Program BNPPTKI bukan untuk magang, tetapi benar-benar untuk berkerja,“ jelasnya.
Di sisi lain, sejatinya Indonesia masih mengalami banyak kendala dalam hal ketenagakerjaan. Ia mencontohkan, ketika diberikan kuota tenaga kerja oleh luar negeri, kita sudah siapkan tenaga kerja untuk memenuhi kuota tersebut. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Banyak tenaga kerja yang sudah disiapkan malah mengundurkan diri. Untuk itu, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri wajib memiliki skill (keterampilan), kompetensi, dan kemampuan bahasa. “Yang terpenting, tentu berkaitan dengan perilaku. Sekarang tinggal bagaimana kita mengelola masalah tersebut,” demikian Ade.
Berdasarkan evaluasi terhadap 11 angkatan yang telah dilepas untuk magang di Jepang sebelumnya, Bupati Winasa melihat ada beberapa permasalahan yang terjadi, yang membutuhkan penanganan segera. Berbagai sisi harus dibenahi agar tidak mengecewakan user di Jepang, salah satunya Koperasi Sukuba, yang telah menjalin kerjasama sejak awal dirintisnya pemagangan ke Jepang.
“Saya tidak ingin ada naker magang yang keluar dari Koperasi Sukuba, apalagi lari dari Jepang. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu akan membawa dampak buruk bagi hubungan kerjasama ini. Yang dipertaruhkan bukan hanya nama daerah (Jembrana-red), tetapi juga merugikan diri sendiri dan keluarga. Saya harap, tidak ada naker yang menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan,” tegas Prof. Winasa.
Untuk masalah ketenagakerjaan tersebut, Bupati Winasa terpaksa mengambil sikap tegas. Kondisi ini juga berpengaruh pada latar belakang para naker magang yang diberangkatkan. Jika pengiriman naker ke Jepang sebelumnya tidak memandang latar belakang keluarga, pengiriman angkatan ke 12 lebih selektif. 33 naker yang diberangkatkan berasal dari keluarga kurang mampu, yang berusia antara 20 tahun hingga 25 tahun. Mereka akan bekerja selama 3 tahun dengan pola pemagangan di bidang pertanian yang meliputi peternakan dan perkebunan.
“Seperti angkatan sebelumnya, tentu mereka juga harus menjalani tes dan pelatihan yang cukup ketat. Mereka wajib menguasai bahasa Jepang dan memahami budaya masyarakat setempat. Meskipun hanya pemagangan, naker Jembrana harus dididik dan dilatih untuk siap bekerja di luar negeri. Tapi kenapa saya lebih memprioritaskan naker yang berasal dari keluarga kurang mampu? Secara umum, mereka tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Saya yakin, mereka memiliki semangat dan motivasi yang lebih tinggi untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Kalau memberangkatkan naker dari keluarga mapan, kadang mereka akan mengabaikan pekerjaan walaupun tidak seluruhnya berperilaku seperti itu,” papar Bupati Winasa.
DI sisi lain, Bupati Winasa juga mengultimatum staf yang menerima sogokan dari para naker. Tentu, ia tidak menginginkan timbul kecemburuan diantara para calon naker akibat “uang pelicin” dari calon naker yang sesungguhnya tidak memenuhi persyaratan menjadi naker magang ke Jepang.
“Saya hanya ingin memberikan keadilan bagi mereka. Jika memang calon naker dinilai mampu dan layak, mereka harus diberangkatkan. Kalau ada yang lulus karena sogokan, tolong sampaikan langsung ke saya. Saya tidak perlu menunggu lama-lama. Kalau ada staf yang disogok, saya akan langsung hentikan staf itu. Maaf kalau saya harus keras. Ini demi kebaikan kita bersama,“ pesan Winasa kepada orang tua naker.
Kontribusi
Bekerja atau magang di Jepang memang menjadi peluang emas bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup. Setelah kesempatan itu tiba, tentu seluruhnya kembali pada diri naker yang diberangkatkan. Dalam artian, bagaimana naker mampu memberi nilai tambah bagi diri sendiri dan keluarga.
“Kalau kontribusi untuk pemkab, itu masalah terakhir. Sesuatu yang mustahil jika ada naker yang pulang tanpa membawa hasil. Jika hal ini sampai terjadi, masalah tentu ada pada naker bersangkutan, terutama mengenai pola hidup mereka saat bekerja atau magang di Jepang,” demikian Bupati Winasa, seraya menambahkan dalam waktu dekat akan melanjutkan kerjasama dalam bidang pendidikan dengan Jepang.
Orientasi di dalam membangun Jembrana yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dinilai sangat tepat dilakukan di tengah menurunnya kualitas sumber daya alam. Apresiasi tersebut sempat dilontarkan Ade Adam Noch, Deputi Bidang Penempatan BPPTKI (Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia). Sebagai lembaga pemerintah non departemen, BNPPTKI berperan di dalam memfasilitasi perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri. Untuk penempatan TKI di Jepang, Indonesia diberikan kuota 1000 orang. Saat ini, peluang masih tersisa untuk 700 orang.
Ade Adam Noch juga menyarankan agar Pemkab Jembrana meningkatkan pola kerja sama dengan pihak Jepang dengan mengirim masyarakat untuk bekerja tetap di sana, bukan sebatas magang. Karena jika hanya mengirimkan naker magang, penghasilan yang diterima tentu lebih rendah. “Program BNPPTKI bukan untuk magang, tetapi benar-benar untuk berkerja,“ jelasnya.
Di sisi lain, sejatinya Indonesia masih mengalami banyak kendala dalam hal ketenagakerjaan. Ia mencontohkan, ketika diberikan kuota tenaga kerja oleh luar negeri, kita sudah siapkan tenaga kerja untuk memenuhi kuota tersebut. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Banyak tenaga kerja yang sudah disiapkan malah mengundurkan diri. Untuk itu, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri wajib memiliki skill (keterampilan), kompetensi, dan kemampuan bahasa. “Yang terpenting, tentu berkaitan dengan perilaku. Sekarang tinggal bagaimana kita mengelola masalah tersebut,” demikian Ade.
3 komentar sahabat:
Berkaitan dengan perilaku mmg dibutuhkan pemahaman historisnya.... Benar Pak winasa berwacana demikian....dan kami harap semua pihak dapat memakluminya....Sukses slalu...
Kemampuan diri atau skill memang perlu..
Sukses selalu.. Semoga negara kita menjadi lebih baik lagi..
@ Pak Dea: Ya itulah, sulit memang kalau sudah berkaitan dengan perilaku. Kesadaran ini harus ditumbuhkan naker itu sendiri. Mudah2an saja mereka "cepat sadar", hehe..
@ Ebleh: Mudah2an, kang.. :)
Posting Komentar