Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan

Ladrina Bagan; Penjelajahan Kreativitas Tiga Kota

LADRINA Bagan, lahir pada tanggal 31 Januari 1990 di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, dengan nama Leyla Adrianti Hermina Bagan. Lahir sebagai buah cinta pasangan Akhmad Johansyah Bagan dan Yenny Pranoto, sejak kecil ia telah dibiasakan bersentuhan dengan dunia seni. Ladrina kecil bernyanyi dan menulis, mengekspresikan setiap apa pun yang terjadi di sekelilingnya.

Beranjak dewasa, Ladrina mulai serius bermusik bersama enam perempuan kreatif The Jumping Balloons di Purwekerto di usia 17 tahun. Dengan mengusung konsep indepop vintage, ia berhasil mencuri perhatian publik dengan karakternya yang riang, bahkan terkesan centil.

Bersama The Jumping Balloons, Ladrina mulai menciptakan lagu. Keterbatasannya memainkan alat musik tak menjadi hambatan bagi mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini untuk berkarya. Sebagian besar karyanya tercipta secara spontan, dan mengalir. Ia membiarkan seluruhnya berjalan apa adanya sebagai bentuk penghormatan atas budaya proses, melebur dalam maha seni kehidupan.

Berbagai peristiwa ditangkap dan diterjemahkan Ladrina dalam karya-karyanya: tentang mitos sore hari, tentang putri, tentang cinta, tentang karya, tentang hidup. Ketertarikan dan kemampuannya menulis memudahkan Ladrina menciptakan syair lagu yang kuat dan sederhana. Ia menjelajah keluasan kata dalam penciptaan lirik sehingga karya-karyanya lebih sublim, menjadi milik siapa saja.

Penjelajahan kreatif bermusik dilakukan Ladrina saat membentuk Innerva di tahun 2008. Bersama salah seorang temannya, Kirey, yang kuliah di ISI Yogjakarta, ia mulai memainkan musik bernafaskan ethnic-electrik-shoegaze, aliran musik yang sangat disukainya. Jarak Purwokerto-Yogjakarta tidaklah menghalangi mereka dalam peleburan kreativitas.

Beberapa karya pun terekam dan mulai mengisi ruang-ruang dengar publik. Single pertama Innerva berjudul Child & Evil menjadi pintu awal pertemuannya dengan Lutphi yang kemudian bekerja sama dengannya di Something el. Kembali ia membuktikan bahwa jarak bukanlah dinding pembatas yang menyekat peleburan kreativitas.

Pertemuan Ladrina dan Lutphi yang dimediasi jejaring sosial seperti facebook dan yahoo massanger akhinya menumbuhkan kesepakatan kreatif untuk bekerja sama dalam musik. Meski awalnya Lutphi bersikeras untuk menggarap solo album untuk Ladrina, toh akhirnya ia sepakat membentuk Something El dengan format simple acoustic.

Kehidupan senantiasa mengalir, bergerak tanpa rencana. Berkreativitas di tiga band di tiga kota yang berbeda: The Jumping Balloons (Purwokerto), Innerva (Yogjakarta-Purwokerto), dan Something El (Jakarta-Purwokerto), sempat menumbuhkan pesimisme dalam diri Ladrina Bagan untuk menjalani proses kreatifnya.

Bersama Lutphi di Something El, Ladrina Bagan belajar berproses lebih sistematis dan terencana, bersama-sama melebur ide kreatif dan kemampuan maksimum menjadi sebuah racikan dalam takaran dinamik yang tepat dan segar.

Melalui rilisan perdana Something El berjudul Tragically Romantic yang bermaterikan sebelas lagu dengan komposisi dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, Ladrina mencoba menapak dan berpetualang di samudra show-biz yang luas.

Ekspresif
Sebagai seorang yang kreatif dan ekspresif, keinginan Ladrina untuk melakukan eksplorasi seni tidaklah bisa dibendung. Di tahun 2010, di sela-sela persiapan launching album Something el, tawaran menggarap album solo diraih perempuan berdarah Dayak-Jawa ini dengan mengutamakan kebebasan berekspresi, sekaligus menawarkan kebebasan publik untuk memilih dan menikmati setiap karyanya.

Seperti penjelajahan ruh yang tak berbatas, Ladrina –yang menempatkan Adele, Inggrid Michaelson, Corrine Bailey Rae, dan Ayu Laksmi sebagai sosok inspiratif– menggali musikalitas dengan menyajikan delapan lagu yang akan menjadi materi solo albumnya. Dengan mengabaikan “kesakralan” sebuah genre, ia mencoba menjajal kemampuannya dengan menyanyikan lagu-lagu pop, blues, gloomy, acoustic, metal, dan lain-lain dalam album tanpa identitas ini.

Ladrina Bagan, hidup demikian sederhana dan indah. Letupan-letupan emosi dan imajinasinya tidak hanya dituangkan ke dalam musik, melainkan juga lewat sastra, lukisan, film pendek, hingga fotografi, yang dikreasikan dengan artistik dan kreatif. Kehidupan Ladrina yang disandarkan pada aktivitas berkesenian telah mendekatkan dirinya kepada apa saja. Sensitivitas dan kepedulian terhadap kemanusiaan pun melabuhkannya menjadi Manager Kasus HIV, menjadi pendamping dan konselor bagi para penderita HIV/AIDS.

Kesenian memang senantiasa mengajarkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Dengan kerendahan hati pula, di usia yang relatif muda, ia berusaha mengembalikan setiap apa pun yang didapatkannya dari kehidupan, bagi kehidupan.


Untuk mendengar new track Ladrina Bagan, kunjungi Ladrina Bagan's Page dan Reverbnation/Ladrina Bagan

Foto:
atas-bawah: Bayu Bergas, I Putu Dodi Mangkikit
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Kucari Cinta di Balik Kelaminmu

-kepada perempuan yang memberi hidup
MALAM tak sekelam biasanya. Purnama masih mengiklaskan dirinya untuk memandu langkah sang pejalan jauh. Tak jelas kemana arahnya. Yang ia tahu hanyalah berjalan, mengikuti nalurinya.

Entah berapa depa jarak yang ditempuhnya. Wajah kusut itu menyiratkan kelelahan yang teramat sangat. Bahkan mungkin, telah menghabiskan 23 tahun kehidupan untuk mencari. Hanya mencari!

“Ah dunia, seberapa luaskah engkau untuk ku jelajahi? Seberapa iklaskah engkau menerima keberadaanku, untuk sesekali menikahimu? Dimanakah akan kutemukan cinta?”

Aku hanya bisa meracau, menggumam dengan bahasa yang entah. Jalanan berdebu, trotoar jalan, lampu penerang kota, pohonan yang membisu menjadi pelampiasan kekalutanku.

“Angin, tak bisakah kau sesekali berhenti bergerak? Tinggallah sejenak. Mari berbincang. Tentang cinta, kasih dan pengorbanan dunia. Sungguh, aku perlu itu. Aku remuk di tengah pergulatanku sendiri. Atau jangan-jangan, kau pun tak memahaminya. Apa yang kau tahu tentang cinta, kasih dan pengorbanan?”

Aku menggerutu, menghardik, menghentak. Menahan amarah. Mencabik-cabik diriku sendiri. Menenggelamkan jiwa di ujung kelam satu sudut kota.
Aku terasing. Hanya gamelan yang masih setia mengiringi langkah panjang perjalanan. Kekasih, aku larut dalam tatapanmu. Di balik kelaminmu, masihkah kutemukan cinta itu? 23 tahun ini aku mengembara, mencari jalan pulang ke balik kelamin yang membuangku. Biarkanlah aku kembali sejenak Bahkan hanya untuk sekedar berkata, aku ingin tetap di sini. Mencari teduh kegalauan jiwaku!
Ah, apa yang kupikirkan? Tentu tak ‘kan ada lagi sejengkal tempat buatku di sana. Aku terlalu angkuh menjalani kehidupan untuk kembali lagi. Inilah konsekuensi dari prosesi bernama hidup!

*****
“Melangkahlah sebelum gaib melumatmu. Tak ada yang bisa kau lakukan selain itu. Tataplah dirimu. Apa yang bisa kau lakukan untuk merayakan kehidupanmu? Hanya engkau yang tahu!”

Aku terpaku. Tak ada yang bisa benar-benar menolongku. Tak akan ada yang bisa menjawab pertanyaan, memberi cahaya atas kegalauanku. Tak seorangpun....

suatu hari di pangkalan
tersaput dingin dan keheningan malam
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Di Hatimu, Kutitipkan Cinta

Ku susuri rekah tanah basah hujan pertama senja ini. Jalan panjang ini telah menautkan hatiku dan hatimu (yang kadang masih sulit ku mengerti). Ya, hidup telah mengajarkan kita rasa sakit, derita, dan air mata.

Siapakah yang lebih memahamimu, kecuali aku dan seluruh diriku? Maka tersenyumlah. Bukan untukku. Bukan buat mereka. Tapi buat cinta kita yang merekah...
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Senja dan Taksu di Mata Omink

Kau bilang, “Aku suka senja. Berjuta rahasia bersemayam di balik keindahan pendar merahnya. Serupa kehidupan, yang senantiasa menyimpan misterinya.”

Wajahnya bening. Matanya masih teduh. Tak tampak sedikit pun gurat kekecewaan, walau gerimis kecil yang perlahan menjelma hujan lebat dengan angin menggemuruh, cukup berhasil mencuri keindahan senja yang selalu dinantinya.

Memandang Omink di senja basah itu, sungguh berhasil mencipta kehangatan baru. Ia begitu anggun dengan busana putih yang membalut putih tubuhnya. Obrolan mengalir. Belia dengan lesung kecil di pipinya menimpali percakapan dengan rekah senyum dari bibir merahnya.

Bicaranya yang lepas sedikit berhasil mengungkap takbir di dalam dirinya. Lahir dan dibesarkan di dalam keluarga seniman, Omink ditempa menjadi gadis yang mendedikasikan dirinya pada kesenian tradisional. Sungguh, ia begitu tertarik dengan tari bali. Maka, menjelmalah pemilik nama lengkap Ni Komang Yustika Tribuana Putri menjadi seorang penari, dengan agem yang tekek dan sledet mata sakadi tatit. Dalam bayangan kami, Omink demikian mataksu dalam balutan busana penari bali. Meliukkan gemulai tubuhnya, di tengah gemuruh gamelan yang mengiringi geraknya.

Totalitas dan dedikasinya kepada kesenian juga telah berhasil membawa Omink terbang ke Negeri Sakura. Ketika itu, ia menjadi salah satu duta kesenian Bali dalam pentas kesenian di Jepang. Bahkan tak lama lagi, Omink akan melawat ke Paris, Prancis, menarikan Gegandrungan, berkolaborasi dengan para penari dari Banyuwangi.

Pencapaian di bidang seni tari seperti yang telah diraih Omink bukanlah menjadi tujuan akhir baginya. Omink hanya menempatkannya sebagai hadiah kecil dari apa yang dilakukan dan diperjuangkannya selama ini. Jauh lebih penting lagi, bagaimana menumbuhkan keinginan berbagi atas apa yang dimiliki dan melekat di dalam dirinya. Lahirlah kemudian Bhuana, sebuah sanggar tari sederhana yang didedikasikannya untuk berbagi skill menari dengan anak-anak yang berkeinginan untuk mendalami seni tari bali.

Meski telah banyak yang dilakukannya untuk kesenian, toh itu tidak membuat Omink berbesar hati. Ia tetap gadis belia nan polos yang berusaha menjalani kehidupannya dengan ikhlas. Karena kehidupan senantiasa bergerak, tanpa jeda dan tanpa spasi, Omink tegak melangkah. Menjalani kehidupan sesuai kebenaran yang diyakininya. Doa-doa telah terucap. Semesta mengajarkannya tetap tunduk terhadap apa yang mengitari dirinya. Sebagai bagian sebuah keluarga, seorang siswa, dan menjadi bagian dari peradaban dunia.

Kami memalingkan wajah ke jendela. Senja masih basah. Perlahan, pekat mulai menyelimut. Kubayangkan, semesta berbisik, “Menarilah senantiasa, Omink. Agar dunia tak kehilangan taksu di dirimu....”

Tulisan ini adalah teks Bungan Natah di Ge-M Magazine Edisi September 2009
Muntahkan pikiranmu, sobat...

………………….

Jika ada hal yang kutakutkan, barangkali itu adalah sebuah kehilangan….
(Kebohongan, candaan. Mungkin ini yang mengawali kisah percintaanku dengannya. Gadis kecil yang diselimuti nada-nada di sekelilingnya)

TAK pernah sedikitpun terbayangkan jika aku akan menjalin asmara dengannya. Sungguh, ia hanyalah gadis yang biasa. Jika ada hal yang istimewa darinya, itu hanyalah suaranya. Saat itu aku hanya jatuh cinta pada suaranya, bukan pada pemilik suara itu. Hanya suaranya saja!

Di suatu masa di senja itu, diantara keriuhan alunan gitar, perkusi, biola, bas, suling, suara fals dan sumbang, sesekali aku mencuri pandang kepadanya. Menikmati suaranya, mendengarkan bait demi bait lagu yang mengalun dari bibirnya. Seksi….

Aku ingin mendapat perhatian lebih darinya. Meski ku tahu, sesekali, ia juga melempar pandang padaku, menawarkan senyum abadi yang hingga kini masih setia diberikannya untukku. Aku merasa teduh, mendapatkan sesuatu yang hingga kini masih menjadi milikku. Utuh.

*****

“Kemarin itu kakak ngomong apa, sich?”

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Siemens-ku di senja itu, hampir dua tahun silam. Aku mengerti maksudnya. Ia memang seorang gadis kecil yang tak pernah merasa “tenang” apabila tidak menemukan jawaban yang memuaskannya. SMS itu bermula ketika aku membisikkannya kalimat tak jelas di telinganya, di sela-sela latihan persiapan latihan musikalisasi kelompok kami —Penyanyi Sakit Jiwa.

“Gak ada apa-apa. Aku hanya menggumam gak jelas,” kataku sekenanya.

Seperti yang sudah ku duga, jawabanku tak memuaskannya. Ia kembali memberondongku dengan berbagai pertanyaan, masih dalam konteks yang sama.

Aku bingung. Diantara kemelut itulah, sifat jahilku kambuh lagi.

“I love you.” Aku mengiriminya SMS seraya menyeringai. Sungguh, sama sekali tak pernah terpikir aku akan mengirim pesan seperti itu. Aku diam saja, menunggu reaksinya yang rupanya disambutnya dengan makna pesan yang sama.

*****

Hampir dua tahun aku menjalani percintaanku dengannya. Belakangan akhirnya ku tahu jika ia hanya bercanda ketika mengungkapkan memiliki perasaan yang sama denganku. Ya, sama sepertiku ketika pertama kali mengungkapkan “cinta” padanya. Percintaan kami diawali dengan sebuah kebohongan, candaan, guyonan, yang akhirnya justru melabuhkan perasaan yang awalnya kami ingkari ke dalam satu komitmen percintaan yang tulus, apa adanya.

Dengan Andari —gadis kecil itu, aku menemukan kisah percintaan yang tak biasa. Aku begitu nyaman. Tidak ada kepura-puraan dalam cinta kami. Aku dan dia!

Sampai kini, kami telah terbiasa bersama. Hampir setiap hari, waktuku kuhabiskan untuk menemaninya. Meski kadang bosan merayap, aku tetap berusaha bertahan seraya meyakini, dialah gadis itu. Gadis yang akan menemaniku, hari ini dan esok nanti. Gadis yang akan memandangku dengan tatapan teduh penuh cinta. Gadis yang akan senantiasa setia memberiku senyum tulus, tanpa keterpaksaan, meski sangat berbeda dengan senyum yang seringkali ku berikan padanya.

Maka, jika ada hal yang kutakutkan dalam dunia ini, barangkali itu adalah sebuah kehilangan. Bukan kehilangan Andari, tapi kehilangan perasaannya, senyumnya, tatapan teduhnya dan ketulusan cintanya yang hingga kini masih kurasakan, sama seperti ketulusan yang ditawarkannya dulu.Ya, aku takut kehilangan itu semua!

-------THE END-------


Nb:
Cerita ini tak hendak kuberi judul. Aku tak ingin kisah ini hanya berjalan ataupun berhenti sebatas peristiwa biasa saja.

Jika suka dengan kisah ini, vote saya, heheee.... Cukup KLIK dan beri KOMENTAR di link ini saja.

'Kontes
Peserta kontes cerita cinta, Vote meDidukung oleh Seno
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Memahami (Lagi) Kasih Ibu

Kasih ibu kepada beta/ tak terhingga sepanjang masa// Hanya memberi/ tak harap kembali//Bagai sang surya menyinari dunia//

Demikian sebait lagu dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan atas nama cinta, kasih dan sayang. Sebuah penghargaan atas keberadaan sosok yang bernama Ibu. Namun pasca kasus penjualan dan pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri seperti yang terjadi belakangan ini, masih pantaskah seorang Ibu disebut sebagai pahlawan bagi anak-anaknya?

Bagaimanapun juga, Ibu tetaplah seorang ibu. Apapun kesalahan dan perbuatannya, ini tak terbantahkan. Seorang Ibu merupakan wujud lain dari Tuhan yang turun sebagai “penyelamat” anak-anaknya. Saya sangat sepakat dengan hal ini. Karena sosok atau figur seorang Ibu merupakan sebuah perlambang tiga patah kata purba (cinta, kasih, sayang; meminjam istilah penyair Umbu Landu Paranggi).

Sementara di sisi lain, miris juga menyaksikan realita yang terjadi belakangan ini. Seorang Ibu begitu tega memanfaatkan anaknya. Seorang ibu begitu tega menjual anak kandungnya. Bahkan seorang Ibu begitu tega membunuh anak kandungnya, meskipun ia akhirnya turut “mendampingi kepergian” anaknya menghadap Sang Khaliq!

Begitulah, selalu ada dua sisi yang bertentangan dalam dunia ini (agama Hindu menyebutnya dengan istilah rwa bhineda). Hal ini pula berlaku juga atas keberadaan sosok yang bernama Ibu. Kesakralan kata Ibu dalam konteks kekinian seolah tengah dipertaruhkan. Masih layakkah Ibu dikatakan wujud lain dari Tuhan sendiri?

Layak! Jawaban tegas ini pasti akan saya lontarkan bila ada seseorang yang menanyakan hal ini. Bagi saya, sosok Ibu adalah kemuliaan itu sendiri. Jika kemudian ada perilaku yang (konon) menyimpang, seperti membunuh anaknya sendiri, saya pribadi menganggapnya sebagai bentuk lain dari sebuah “penyelamatan” yang dilakukan untuk anak-anaknya!

Apabila kemudian timbul lontaran sinis bahwa saya dapat berpendapat seperti itu karena tidak langsung mengalaminya, secara tegas pula akan saya jawab dengan sebuah proses hukum karma atau hukum sebab akibat. Saya percaya karma, seperti juga percaya akan reinkarnasi. Apapun yang dilakukan manusia dalam kehidupnya (baik di kehidupan sekarang maupun kehidupan yang lalu), pasti akan mendapat balasan setimpal sesuai dengan perilakunya.

Jika demikian adanya, apa yang dapat dipersalahkan dari perilaku seorang Ibu? Jika saya sepakat bahwa Ibu merupakan perwujudan lain dari Tuhan sendiri, maka tidak ada alasan untuk “menggugat” sosok Ibu. Karena bagi saya, itu sama artinya dengan mempertanyakan (lagi) kebesaran Tuhan.


Gambar diambil dari sini
Muntahkan pikiranmu, sobat...

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda