Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Mencermati (Lagi) “Pelecehan” Atas Nama Nyepi

Konon, kesucian Nyepi ternoda oleh ulah pemilik akun facebook bernama Ibnu Rachal Farhansyah. Berkali-kali pula, saya menerima pesan melalui via layanan SMS (short massage service) yang menginformasikan masalah ini. Bahwa, Ibnu telah (dianggap) menghina, merendahkan, ataupun melecehkan Hari Suci Nyepi, yang juga berarti mengarah ke umat Hindu Bali secara umum, dengan menulis kalimat Nyepi sepi sehari kaya tai pada status facebook-nya. Pesan itu juga disertai kalimat provokatif; harus kita apakan manusia seperti itu? Sebarin ke orang-orang Bali, Hindu bersatu!

Sungguh, amarah masyarakat Bali memuncak. Tidak hanya bagi mereka yang secara kepercayaan menganut agama Hindu saja, tetapi juga mereka-mereka yang telah tinggal ataupun (mengaku) jatuh cinta pada Bali. Dalam keheningan dan kekosongan Nyepi, tiba-tiba saja ribuan masyarakat Bali dan sebagian kecil warga luar Bali disibukkan dengan aktivitas dan tingkah laku yang sungguh jauh dari esensi Nyepi yang sesungguhnya; membangun toleransi dan kerukunan dengan menerjemahkan kekosongan yang maha agung untuk memenuhi rongga alam penghidupan dan kehidupan duniawi sehingga melahirkan harmoni baru.

Gambaran ini dibuktikan dengan bermunculannya grup-grup baru dalam facebook. Ada beberapa grup untuk menghujat yang tercipta, misalnya yang bernama Usir “Ibnu Rachal Farhansyah” dari Bali hingga Basmi Ibnu Rachal Farhansyah, atau grup atau kelompok yang dibuat Ibnu sendiri dengan titel Maafkan Ibnu Rachal Farhansyah yang ironisnya juga menjadi tempat untuk menghujat, sekaligus mengancam dirinya.

Tidak perlu waktu lama bagi masyarakat Bali untuk mengetahui status Ibnu yang dinilai telah melecehkan kesucian Nyepi tersebut. Sejak Ibnu menulis status tersebut, ribuan hujatan dan umpatan (bahkan kutukan tidak selamat dunia akhirat) telah dilayangkan kepadanya hanya dalam hitungan menit di wall (dinding) grup yang telah diciptakan sebelumnya.

Sayangnya, sepengetahuan saya, hingga kini belum terdapat kejelasan mengenai langkah yang akan diambil masyarakat Bali di dalam menyikapi masalah ini. Beberapa pemilik akun facebook, misalnya Dewa Willy Edc, menyarankan agar merealisasikan tindakan nyata agar kasus ini tidak larut begitu saja dengan membawanya ke ranah hukum.

“Jangan hanya saling caci maki atau menghujat di FB (facebook) saja. Mari kita susun draf pasal-pasal hukum yang menyatakan kalau Ibnu melecehkan agama, lalu kita laporkan atau tuntut Ibnu untuk meminta maaf lewat media kepada seluruh umat Hindu. Kaum intelektual Hindu, mari kita bersatu,” ajaknya dalam forum diskusi bertopik Realisasi Umat Hindu Mana? di grup Usir “Ibnu Rachal Farhansyah” dari Bali.

Dalam forum diskusi yang sama, Dwi Bagus, juga mengisyaratkan hal yang sama. Secara pribadi, ia merasa malu melihat (membaca) makian, kata-kata kasar dari teman-teman penganut Dharma. Ia tidak menginginkan kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa ternyata orang Bali beraninya hanya gertak sambal. “Kita gak usah ngomong apa-apa, tapi langsung ambil tindakan tegas. Jangan sampai ia (maksudnya Ibnu) malah berpikir kalau ternyata orang Bali beraninya cuma omong doang,” sarannya.

Mencermati permasalahan ini, pengkritisan juga harus diberikan. Meski juga harus mengamini bahwa apa yang dilakukan Ibnu merupakan salah satu contoh pelecehan kepada Hindu dan Bali pada umumnya, tetapi sebenarnya pelecehan terhadap Hari Suci Nyepi juga telah kita lakukan, meski tanpa disadari. Hal ini tercermin dari perilaku tidak patut yang ditunjukkan oknum masyarakat Bali dengan membunyikan petasan ataupun bunyi-bunyian dari bambu sebelum perayaan Nyepi usai.

Dari tahun ke tahun, kondisi ini seolah menjadi rutinitas sekaligus permasalahan baru yang tak kunjung usai. Belum lagi dengan adanya bentrok antar desa atau banjar yang kerap terjadi ketika pengerupukan (sehari menjelang Nyepi). Jika kembali pada esensi Nyepi yang bermuara pada toleransi dan kerukunan, hal ini jelas-jelas juga telah mencemarkan Hari Suci Nyepi.

Padahal sesuai surat edaran, Nyepi usai tepat pukul 06.00 Wita. Tapi kenyataannya toh tidak demikian. Lewat jam 12 malam saja sudah terdengar bunyi ledakan yang entah dinyalakan oleh siapa. Ini juga mengganggu, bukan? Ini juga bentuk pelecehan yang berulang.

Meskipun tidak mentolerir perilaku seperti apa yang dilakukan Ibnu, sebisanya, masyarakat harus tetap menjaga citra bahwa Bali dihuni orang-orang intelektual, yang selalu mengedepankan penyelesaian demi kebaikan bersama. Bukan hanya cacian dan ancaman semata, tetapi lebih pada langkah konkret ke jalur hukum. Jangan sampai, kesalahan oknum bernama Ibnu merembet ke masalah agama.

Mari kita jaga keagungan Bali tanpa merusak pemahaman umum masyarakat bahwa orang-orang Bali sangatlah bijaksana di dalam menyikapi setiap permasalahan, meski kesabaran itu ada batasannya!
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Pluralisme Dalam Genggam Kekuasaan

DENGAN mengenakan busana adat Bali, Wayan Gablor masih suntuk menyeruput kopi panas yang disajikan Mbah Sarinem. Sesekali, tawa kecil menyeruak menimpali guyonan ringan yang dilontarkan pemilik warung kopi berusia senja.

Saya tertegun menyaksikan hal itu. Alangkah indahnya interaksi yang terjalin diantara keduanya. Meski berpuluh-puluh interaksi antara penjual dan pembeli banyak ditemukan di Pasar Senggol Negara, Jembrana, baru kali ini saya merasa takjub. Entahlah! Barangkali, saya hanya baru tersadar jika sesungguhnya terbersit makna dan pesan moral besar yang bersembunyi di balik drama kehidupan sederhana yang dilakoni dua orang berbeda keyakinan itu (Hindu dan Muslim).

Pluralisme! Tiba-tiba saja kata sakral itu terngiang-ngiang di telinga. Mungkin saja, kata itu telah menjadi asing di tengah pergaulan masyarakat. Tapi di kampungku (Jembrana), semua itu adalah keniscayaan. Kesejatian nilai-nilai pluralisme masih mengada dan tetap terjaga seiring tumbuhnya egoisme di dalam benak setiap masyarakat suatu wilayah dalam kehidupan kekinian.

Jembrana adalah sebuah wilayah peradaban kecil Bali yang tidak “Bali”. Berbeda dengan Bali Timur, Bali Selatan, ataupun Bali Utara, Jembrana yang dibentuk dari heterogenitas penduduknya menjadi demikian bersahaja di tengah perbedaan dan keberagamannya.

Penghargaan atas nilai-nilai pluralisme yang terjalin dan terjaga hingga saat ini sesungguhnya telah tercipta sejak lama, bahkan sejak Jembrana masih dipimpin oleh seorang raja. Kuatnya solidaritas antar pemeluk umat beragama di Jembrana dapat dilihat dari keberadaan Kampung Melayu Loloan yang didominasi penduduk asal Bugis dengan “bahasa kampung”-nya, atau juga perkampungan Kristen di daerah Blimbingsari dan Ekasari yang masih terjaga hingga sekarang. Mereka hidup berdampingan dengan orang Bali (suku Bali), tanpa ada gesekan-gesekan sosial yang berarti.

Indonesia Kecil
Sisi unik Kabupaten Jembrana diantara peradaban-peradaban lainnya di Indonesia berangsur-angsur menjadi semacam identitas yang melekat kuat pada kabupaten yang terkenal dengan kesenian Jegog Mebarung-nya tersebut. “Jembrana adalah Indonesia Kecil atau miniatur Indonesia. Di sini, kita bisa melihat bagaimana dinamisnya kehidupan sosio kultural dari keberadaan masyarakat yang heterogen ini,” demikian garis besar pandangan yang mengemuka atas pluralisme di Kabupaten Jembrana, yang juga sempat dilontarkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, Jro Wacik.

Apa makna dibalik semua itu? Bahwa kebhinnekaan adalah sebuah keniscayaan di Jembrana, pun di Indonesia. Saya pun kembali teringat sebuah pesan pamflet yang ditulis seorang karib; jika telah sepakat berdemokrasi, maka sesungguhnya kita pun tak bermasalah dengan perbedaan. Perbedaan ataupun keberagaman yang tetap mengada di dalam sebuah wilayah bukanlah sesuatu yang nista ataupun patut dipertentangkan di dalam bangunan peradaban bernama Indonesia!

Penyeragaman
Jika berkaca dari realita yang terjadi belakangan ini, pencederaan demi pencederaan atas nilai-nilai kebhinnekaan sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah terjalin dinamis nampaknya tengah terjadi. Sepakat atau tidak, tragedi kemanusiaan (baca: penyeragamaan kebhinnekaan) memang tengah terjadi serta telah dicatat dan menjadi bukti sejarah perjalanan peradaban bangsa ini. Sebutlah itu lahirnya produk Undang-undang Pornografi yang hingga kini masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, (konon) dengan jumlah massa yang berimbang.

Reaksi tercipta. Namun sayang, teriakan-teriakan atas penolakan Undang-undang Pornografi yang diserukan masyarakat seringkali terbentur tembok tebal nan bebal di tingkat elit. Suara-suara menjelma sumbang di telinga mereka. Atas kondisi ini, hanya ada dua pilihan yang dimiliki masyarakat. Pilihan pertama tentu saja dengan mengambil perilaku partisipatif yang diistilahkan dengan partisipasi diam. Dalam artian, sebagai warga negara, kita memposisikan diri hanya dengan duduk dan bersikap manis, dengan mengambil lakon sebagai penonton dalam parodi kehidupan hukum dan politik bernama Undang-undang Pornografi.

Sementara pilihan kedua, kita sebagai warga negara dapat melakukan pembangkangan demi pembangkangan atas keberadaan Undang-undanga Pornografi, seperti yang gencar dilakukan beberapa komponen bangsa ini, terutama oleh masyarakat yang berasal dari Papua, Bali, Sulawesi dan Yogjakarta. Termasuk juga, beberapa anak bangsa yang memiliki kepedulian lebih atas keutuhan bangunan peradaban bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman (pluralitas) sebagai sebuah keniscayaan insaniah, sekaligus ilahiah.

Jalan mana yang akan dipilih? Tentunya ini kembali pada hati nurani masing-masing. Apakah akan membiarkan kemunafikan tetap berlangsung dengan dalih menyelamatkan moral bangsa, atau melakukan aksi sebagai bentuk reaksi atas ketidaksepahaman kita sebagai sesama warga negara. Entahlah, saya tidak tahu!

Lupa
Barangkali, sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif atas realita yang terjadi sekarang adalah bahwa kita sudah menjadi bangsa yang lupa, tepatnya lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa bahwa kita semua adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bagian bangsa bernama Indonesia. Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Budha. Atau, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN. Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-dia orang jahat, aku orang beriman–dia orang kafir, aku penguasa–dia hanya rakyat jelata, aku tuan rumah–dia pendatang, dan seterusnya.

Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membesarkan bangsa ini. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa bahwa saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak bangsa ini sama-sama berperan, dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur sekalipun.

Kita lupa bahwa kita memiliki peran masing-masing untuk memerdekakan bangsa ini. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing. Maka mulai saat ini, kita harus sadar dari “mabuk” berkepanjangan bahwa kita adalah masyarakat bangsa Indonesia. Bahwa kita adalah milik bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Selebihnya, tidak ada!
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Amrozi Cs dieksekusi, Lalu…..

BARANGKALI ekseskusi trio bomber Bali, Amrozi, Mukhlas alias Ali Gufron dan Iman Samudra alias Abdul Azis telah menjadi sebuah momen yang ditunggu kebanyakan orang. Sebuah peristiwa besar yang telah lama dinantikan terutama oleh para korban Bom Bali I tahun 2002 silam. Karena sebelumnya, berbagai kesangsian tentang keberanian pemerintah dalam menegakkan hukum di negara ini cukup menjadi tanda tanya besar di masyarakat.

Barangkali ekseskusi trio bomber Bali, Amrozi, Mukhlas alias Ali Gufron dan Iman Samudra alias Abdul Azis telah menjadi sebuah momen yang ditunggu kebanyakan orang. Ya, hidup Amrozy Cs memang telah berakhir di ujung timah panas di Bukit Nirbaya —sebuah lembaga pemasyarakatan peninggalan Belanda yang telah ditutup sejak 1986. Kini tempat tersebut telah dijadikan tempat eksekusi bagi sejumlah terpidana mati— pada pukul 00.15 Wib dini hari tadi. Kini, mereka hanya tinggal nama, sekaligus menyisakan kegetiran di dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Lantas apa yang bisa kita renungkan atas perjalanan Amrozy Cs yang telah menjadi teroris sekaligus pejuang di dalam bangsa ini?

Tak dapat dipungkiri, Amrozi Cs telah menjadi seorang pejuang bagi para pendukungnya. Dan tentunya, ini tak lepas dari keteguhan dan heroisme “perjuangannya” (yang sayangnya memilih menggunakan gerakan Islam garis keras) di dalam menegakkan kesejatian Islam. Pejuang? Perjuangan? Ah, tiba-tiba saja saya menangkap sebuah kebenaran atas makna kata pejuang atau perjuangan itu sendiri. Tentunya, ini terlepas dari konteks benar dan salah atas apa yang mereka yakini. Ya, mereka meluluhlantakkan Bali enam tahun silam karena memperjuangkan apa yang diyakininya. Dan bagi saya, Bom Bali I itu hanyalah sebatas peristiwa kecil saja dari sebuah perjuangan yang mereka lakukan.

Di sinilah kita bisa melihat kebenaran atas kata perjuangan itu, meskipun ditunjukkan dengan sebuah kegetiran. Amrozi Cs telah mengajarkan kita (saya) tentang sebuah sikap dan tanggung jawab atas sesuatu hal yang diyakini. Mereka telah mengajarkan kita untuk tidak ragu sedikit pun di dalam memperjuangkan suatu “kebenaran”. Mereka telah mengajarkan kita bagaimana bangsa ini harus bangkit dan melawan setiap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi di negeri ini.

Amrozi Cs telah dieksekusi, lalu….? Ya, kini kita hanya bisa mengambil hikmah atas “perjuangannya” mereka. Atau barangkali kita memang tengah membutuhkan revolusi? Tapi revolusi tanpa darah tentunya! Kita (saya) memang harus banyak belajar dari mereka.

Sebuah celotehan ngelantur
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Pertentangan Batin

Pagi tadi, aku melihat muda-mudi, tua muda, berbondong-bondong menuju rumah Tuhan dengan berbusana rapi, putih. Tak seluruhnya memang.

Aku menangkap religiusitas di sana. Suatu keadaan yang tak biasa. Entah. Aku hanya tersenyum menyaksikan mereka. Sungguh, aku terpesona dengan keagungan ini. Sebuah perayaan kemenangan yang konon menjadi pesta bagi siapa saja.

Sementara di sebelahku, seorang bocah dengan wajah kusut masih mengiba dengan menadahkan tangan. Tatapannya tajam mengisyaratkan akan sebuah kekuatan yang melemahkan. Mengisyarakatkan sebuah cinta sekaligus kebencian. Mengisyaratkan sebuah pengharapan sekaligus keputusasaan.

Aku lebih memilih menatapnya. Memandangnya dengan tatapan nanar. Mencermatinya dengan seksama. Seperti menemukan hal asing. Padahal, ia memang telah ada dan tumbuh di sekitar kita. Bahkan, jauh sebelum aku mulai mengenal kehidupan ini untuk kali yang pertama.

Tapi tunggu! Di sudut ruang yang lain, samar-samar aku mendengar sebuah nyanyian. Alunan nada “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” yang dilantunkan Alm. Chrisye feat Ahmad Dhani, semakin melengkapi asa yang kurasakan. Sebuah kontradiksi antara senyum kemenangan dan wajah penuh iba bocah itu.

Berbagai pertanyaan mulai lahir dalam pikiranku. Surga dan neraka nampaknya sekarang telah menjadi acuan dan perjalanan akhir dari sebuah proses kehidupan. Tapi seandainya kondisi itu (aku lebih menganggap surga dan neraka sebagai sebuah kondisi, bukan tempat!) tidak pernah ada atau dirasakan, mungkinkah kita masih bersujud kepadaNya? Mungkinkah kita masih mau menyisihkan waktu sedikit untuk sekedar menoleh ke belakang, memahami perasaan bocah itu?

Ah, perasaanku kembali berkecamuk.. Tapi aku lebih memilih diam. Terlalu banyak orang yang tak beruntung di dunia ini, batinku seraya melangkah pergi.
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Pesan Cinta Kepada….

Saya hanya ingin menjumpai anda, meski hanya melalui pesan singkat ini. Karena ada sesuatu yang sama sekali tak saya pahami. Apa yang tersisa hari ini? Di tiap pojok kota ini, seringkali saya bersua dengan kisah-kisah tentang kegetiran. Hati ini terlalu lemah mendengar rintihan itu. Suaranya! Ya, suara-suara itu bahkan jauh lebih dahsyat dari sekedar perayaan 17-an. Ataukah suara-suara itu justru menjelma bisik di telinga anda?

Sudahlah! Sepertinya negeri ini memang telah dibangun dengan kegetiran. Pondasinya demikian rapuh oleh berbagai berita kemalangan. Lihatlah bagaimana bangsa kita menjadi olok-olokan bangsa lain. Lihatlah bagaimana nasib semakin tak pasti. Lihatlah pula, cemara tampak lesu di tengah taman beton yang menghias negeri ini. Salahkah saya jika kembali ingin mempertanyakan, apakah suara-suara itu memang benar-benar menjelma bisik di telinga anda?

Ijinkanlah sesekali saya menjumpai anda. Menyapa anda melalui jerit tangis, rintihan anak-anak anda. Tahukah anda berapa banyak anak-anak yang telah membuat bangga bangsa ini? Begitu banyaknya, tapi  di rumah sendiri justru dicampakkan. Apakah anda telah lupa bahwa kamilah pemilik kedaulatan negeri ini? Bahwa kami adalah tuan di negeri ini!

Ah, bodohnya! Maafkan saya atas kelancangan ini. Saya tak hendak meragukan segala usaha anda untuk membangun peradaban bangsa ini. Tentu saja anda sudah banyak mendengar berbagai keluh anak-anakmu. Terlalu sering, bahkan. Hingga anda terlupa, masalah masih saja enggan beranjak. Mungkin, anda sendiri tak dapat tidur nyenyak di istana megah itu. Atau jangan-jangan, anda cemburu melihat kami yang terbiasa tidur pulas meski beratap langit duka yang masih menggelayut ramah di atas kepala kami.
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Dilema Tak Berkesudahan (Percakapan Imajiner dengan Tuhan)

Bom masih saja membumihanguskan daratan Palestina. Sementara di Indonesia, permasalahan akut yang dihadapi masyarakat Sidoarjo terus merengsek menuntut penyelesaiannya. Para pejuang kemerdekaan seketika was-was karena akan kehilangan kenyamanan di rumah tuanya Belum lagi keberadaan oknum yang mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Ah, ini hanya segelintir peristiwa saja. Tuhan, kamu dimana? Tidakkah Kau pernah mencoba menghentikan tragedi kemanusiaan ini dengan kekuasaanMu?

Di sebuah gubuk sederhana, aku berkesempatan bertemu Tuhan. Kami berbincang hingga larut malam. Membiarkan berbagai tragedi terus saja terjadi di depanNya, di belakangNya, bahkan di dalam diriNya.

Selama ini Engkau dimana? Tidakkah Kau tahu berapa banyak permasalahan yang terjadi belakangan ini?
Aku tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Persoalan terlampau banyak. Aku tak mampu menyelesaikannya sendiri!

Ada apa ini? Apakah Engkau telah kehilangan semangatMu?
Bukan begitu. Aku selalu diburu waktu. Aku terlampau lelah untuk menyelesaikan semuanya. Bahkan, bom-bom itu begitu cepat menghunjam Palestina. Aku terlambat! Di saat yang bersamaan, seketika itu juga, timbul persoalan lain di belahan bumi lain bernama Sidoarjo. Lumpur terus saja menyembur. Menumpahkan lumpur panas yang mengubah dataran menjadi lautan lumpur.

Hmmmm….
Aku begitu sibuk memberi jalan bagi pengungsi-pengungsi di Sidoarjo. Sampai-sampai, Aku tak punya waktu lagi ikut memantau situasi politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2009 ini. Ah, Aku belum tahu apakah prosesnya telah berjalan lancar, dengan landasan demokrasi yang telah mereka sepakati atau tidak.

Kenapa Engkau tak memantaunya sekarang? Bukankah Pemilu masih cukup jauh? Jadi, masih ada sisa waktu, bukan?
Sudahlah, biarkan saja! Aku merasa kekuasaan mereka (penguasa negeri) telah melebihi kekuasaanKu sendiri. Mereka tak pernah menggubrisku lagi. Jadi untuk apa Aku ke sana? Toh, semuanya akan tetap sama. Lebih baik Aku berada di tempat lain.

Tahukah kamu? Beberapa hari ini Aku berada di Beijing, Cina. Menyaksikan para atlet bertanding dengan sportifnya. Ah, ternyata ganda putra Indonesia, Markis Kido/Hendra Setiawan, meraih medali emas di Olimpiade itu. Tetapi di sana, Aku pun tak dapat tenang.

Lho kenapa? Tidakkah Engkau menikmati keberadaanMu?
Seharusnya! Tetapi masalah demi masalah di tiap belahan dunia ini terus saja membayang di pikiranKu. Aku kepikiran Pemilu di USA. Aku (masih) kepikiran perang di Palestina. Aku kepikiran anak-anakKu yang kelaparan di Ethiopia. Aku kepikiran anak-anak yang pura-pura membelaKu di Indonesia. Ah, situasi di dunia memang sedang panas. Bahkan melebihi global warming yang katanya menjadi ancaman utama anak-anakKu di dunia ini.

Kenapa Engkau menganggap anak-anak yang membelaMu di Indonesia itu hanya berpura-pura? Bukankah seharusnya Engkau senang bahwa masih ada yang ingat padaMu?
Hahahahahaaaaa.… Bagaimana Aku bisa senang? Aku suka mereka membelaKu. Aku senang mereka peduli kepada saudara-saudaranya di dunia yang (menurut mereka) tidak berada di jalanKu.

Lantas?
Aku hanya menyayangkan sikap mereka saja. Mereka selalu membawa-bawa namaKu agar keberadaannya diakui. Lihatlah sendiri, bagaimana mereka membawa-bawa pentungan untuk “mengingatkan” saudaranya sholat. Lihatlah, bagaimana mereka “meledakkan” Bali karena saudara-saudara jauhnya menggunakan pakaian setengah telanjang .

Lihatlah juga, bagaimana mereka menganggap bahwa membunuh pengikut aliran Ahmadiyah adalah halal. Aku tak habis pikir dengan kelakuan mereka. Apa yang telah meracuni hati anak-anakKu hingga mampu berbuat seperti itu. Sudahlah, biarkan saja…

*****

Kami tertawa bersama. Sementara di Palestina, seorang Ibu masih tetap tetap waspada terhadap bisingnya suara senapan mesin, suara tangis mengenaskan anak-anak dan suara pawai panser yang siap menghancurkan rumahnya kapan saja. Masyarakat Sidoarjo masih dibuat kebingungan dengan fenomena yang terjadi di rumahnya. Kelompok yang mengatasnamakan Tuhan masih saja memburu saudara-saudaranya sendiri yang tak sepaham dengan mereka.

Kami hanya bisa tertawa seraya menyaksikan berbagai tragedi yang datang silih berganti itu. Sebuah dilema tak berkesudahan yang terjadi di setiap belahan dunia ini.

Terinspirasi dari esay "Ngomongin Tuhan"
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Ketenangan dan “Kemenangan” yang (Masih) Enggan Kurayakan

Aku selalu ingin menuju rumah itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang terus saja menggodaku untuk menapakkan kaki di istana agung, yang (konon) menawarkan sejuta kesejukan bagi setiap hati yang sepi.

Sungguh, aku sangat ingin berada di sana. Tapi jalan di depan terlampau sulit. Bukit-bukit berbatu yang hanya menyisakan jalanan setapak nan terjal ini meruntuhkan keangkuhanku. Adakah jalan lain yang lebih sederhana menuju rumah itu?

Istana itu sangatlah sederhana. Tapi keagungannya mampu mengaburkan segala sudut pandang tentang definisi kesederhanaan. Ia telah menjadi tujuan akhir bagi setiap orang, juga bagiku. Sekali waktu, ijinkan aku berada di sana. Meneguk secangkir teh manis, bersama ibu yang telah menunggu di ambang pintu.

Aku ingin pulang. Sesekali saja, walaupun akhirnya aku akan kembali pergi dan melanjutkan sisa-sisa pengabdianku di rumah yang lainnya.

Sesungguhnya, aku telah lama mencari jalan kepulangan bagi setiap orang. Tapi semakin aku mencarinya, berusaha mendekatinya, saat itu pula ia kemudian menjauh. Begitulah seterusnya. Jalanan penuh darah dan nanah itu telah mempermainkanku dan menumbuhkan kesadaranku; janganlah kamu mencarinya. Biarkan jalan itu yang menghampirimu. Persiapkan jiwamu untuk menyambut jalan kepulanganmu!

*****

Kemarin, jalan lapang itu (kembali) dibuka bagi setiap orang. Tapi nampaknya itu bukanlah untukku. Aku terlalu sibuk menjalani apa yang memang seharusnya kulakukan. Menjalankan hukuman sebagai seorang anak dari sosok mahluk yang lainnya. Aku merasa tak pantas ikut dalam upacara kemenangan itu. Aku enggan merayakannya.

Karena aku, hanyalah sepenggal kata dalam semesta. Hanya sepenggal saja! Aku terlampau kecil untuk menyatu dalam upacara ini. Maka seperti bulan-bulan sebelumnya, aku kembali berdamai dengan diriku sendiri. Ya, aku memang lebih memilih berdamai dengan hatiku saja. Seraya berharap, kemenangan itu akan datang kembali, hanya untukku. Sebuah kemenangan yang memang kuperjuangkan dengan pikiran, perkataan dan perbuatanku. Dengan kemenangan inilah, aku merasa cukup pantas kembali berada dalam rumah itu. Menyatu kembali denganNya di dalam rumah Tuhan.

Renungan Hari Raya Galungan,
konon merupakan upacara kemenangan dharma melawan adharma

Gambar diambil dari sini
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Memahami (Lagi) Kasih Ibu

Kasih ibu kepada beta/ tak terhingga sepanjang masa// Hanya memberi/ tak harap kembali//Bagai sang surya menyinari dunia//

Demikian sebait lagu dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan atas nama cinta, kasih dan sayang. Sebuah penghargaan atas keberadaan sosok yang bernama Ibu. Namun pasca kasus penjualan dan pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri seperti yang terjadi belakangan ini, masih pantaskah seorang Ibu disebut sebagai pahlawan bagi anak-anaknya?

Bagaimanapun juga, Ibu tetaplah seorang ibu. Apapun kesalahan dan perbuatannya, ini tak terbantahkan. Seorang Ibu merupakan wujud lain dari Tuhan yang turun sebagai “penyelamat” anak-anaknya. Saya sangat sepakat dengan hal ini. Karena sosok atau figur seorang Ibu merupakan sebuah perlambang tiga patah kata purba (cinta, kasih, sayang; meminjam istilah penyair Umbu Landu Paranggi).

Sementara di sisi lain, miris juga menyaksikan realita yang terjadi belakangan ini. Seorang Ibu begitu tega memanfaatkan anaknya. Seorang ibu begitu tega menjual anak kandungnya. Bahkan seorang Ibu begitu tega membunuh anak kandungnya, meskipun ia akhirnya turut “mendampingi kepergian” anaknya menghadap Sang Khaliq!

Begitulah, selalu ada dua sisi yang bertentangan dalam dunia ini (agama Hindu menyebutnya dengan istilah rwa bhineda). Hal ini pula berlaku juga atas keberadaan sosok yang bernama Ibu. Kesakralan kata Ibu dalam konteks kekinian seolah tengah dipertaruhkan. Masih layakkah Ibu dikatakan wujud lain dari Tuhan sendiri?

Layak! Jawaban tegas ini pasti akan saya lontarkan bila ada seseorang yang menanyakan hal ini. Bagi saya, sosok Ibu adalah kemuliaan itu sendiri. Jika kemudian ada perilaku yang (konon) menyimpang, seperti membunuh anaknya sendiri, saya pribadi menganggapnya sebagai bentuk lain dari sebuah “penyelamatan” yang dilakukan untuk anak-anaknya!

Apabila kemudian timbul lontaran sinis bahwa saya dapat berpendapat seperti itu karena tidak langsung mengalaminya, secara tegas pula akan saya jawab dengan sebuah proses hukum karma atau hukum sebab akibat. Saya percaya karma, seperti juga percaya akan reinkarnasi. Apapun yang dilakukan manusia dalam kehidupnya (baik di kehidupan sekarang maupun kehidupan yang lalu), pasti akan mendapat balasan setimpal sesuai dengan perilakunya.

Jika demikian adanya, apa yang dapat dipersalahkan dari perilaku seorang Ibu? Jika saya sepakat bahwa Ibu merupakan perwujudan lain dari Tuhan sendiri, maka tidak ada alasan untuk “menggugat” sosok Ibu. Karena bagi saya, itu sama artinya dengan mempertanyakan (lagi) kebesaran Tuhan.


Gambar diambil dari sini
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Surat untuk Negeriku….

Lelaki itu melangkah. Pikirannya dibangun oleh kegetiran-kegetiran berbagai tragedi kemanusiaan. Ia terlalu biasa dengan mayat. Ia terlalu terbiasa dengan kematian. Ia terlalu terbiasa dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang menyayat guratan demi guratan nasibnya.

Lelaki itu melangkah. Tubuhnya dibentuk oleh deru peluru yang menyatu darah, mengalir di rongga-rongga nadinya. Bukan merah! Tetapi hitam, legam, atau bahkan merupa wajah-wajah lusuh yang tercipta atas rasa cemas.

Lelaki itu tetap melangkah. Berusaha melawan semua kegetiran hidupnya. Mencoba menghempaskan penat dan ketidakadilan yang menimpanya. Ia (telah) dikalahkan berbagai dilema yang menyatu dalam tubuh Ibunya. Ia terasing, bahkan dari peluk Ibunya sendiri.

Ya, lelaki itu telah kalah. Kekalahan yang teramat sangat. Bahkan mungkin, kekalahan pertama yang diterimanya setelah berpuluh-puluh tahun menegakkan kepala dalam kemenangan yang gemilang.

Sementara disampingnya, desingan peluru masih saja menghujam Ibunya. Peluru itu bernama krisis ekonomi. Peluru itu bernama krisis pangan. Peluru itu bernama kemiskinan. Peluru itu bernama korupsi. Peluru itu bernama ketidakadilan. Peluru itu bernama tragedi. Peluru itu bernama….

Lelaki itu hanya bisa tersenyum kecut. Ia hanya mengelus dada melihat kelakuan saudara-saudaranya sendiri. Ia berpikir. Keningnya mengernyit. Ia menangis darah menyaksikan ibunya ditusuk permasalahan yang tiada berkesudahan. Oleh anak-anaknya sendiri!

63 tahun sudah Ibu, Engkau menanggung kegetiran atas perilaku anak-anakmu sendiri. 63 tahun sudah Ibu, tubuh tua-Mu hanya bisa menahan sakit atas berbagai kepedihan, tanpa mampu keluar dari lingkaran hitam yang menganga di pori-pori tubuhmu.

Tetapi Ibu, cobalah Engkau (tetap) tersenyum! Jagalah senyum itu untuk kami, anak cucu Ibu sendiri, meski hanya sekulum senyum kecut. Bagi kami, senyum itu bernama kekuatan. Bagi kami, Senyum itu bernama kebangkitan. Bagi kami, senyum itu bernama pengharapan. Harapan untuk tetap membuat-Mu mengada di dalam sebuah masa. Harapan untuk tetap mengadakan Ibu, yang bernama Indonesia.

Suatu ketika
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Indonesia, Bukan Negara Islam!

Ribut lagi, ribut lagi! Kayaknya bangsa ini gak ada capek-capeknya. Belum lagi selesai satu masalah (baca: kenaikan BBM), bentrok sesama muslim kembali terjadi. Monumen Nasional (Monas) menjadi saksi retaknya harmoni bangsa ini.

Kapan sih Indonesia bisa tenteram dan damai? Apakah bangsa ini memang sengaja ”diciptakan” hanya untuk menyaksikan kegetiran demi kegetiran yang dilakukan rakyatnya sendiri?

BBM naik, barang ikut naik. FPI bentrok dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Hmmmm.....

Sepengetahuan saya (maaf kalau salah, tolong dikoreksi), bentrokan-bentrokan yang mengemuka di dalam bangunan peradaban bangsa ini selalu menempatkan umat Muslim sebagai tokoh utamanya. Insiden Monas 1 Juni silam itu salah satunya!

Sangat ironis jika membayangkan bentrokan sesama Muslim ini menjadi titik awal retaknya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Sekecil apapun, potensi itu tetap ada.

Maka kemudian yang menjadi pertanyaan terbesar saya adalah, apakah bangsa ini memang sedang mengarah dan menjadi Negara Islam? Jika memang itu yang terjadi, untuk apa negara menjamin kebebasan beragama? Mudah-mudahan itu hanyalah sebuah pemikiran yang salah!

Mungkin perlu ditegaskan kembali, bangsa ini terdiri dari beberapa agama. Bukan hanya Islam, walaupun Indonesia memang didominasi oleh umat Muslim! Dan ada baiknya pula, ketika mengambil suatu tindakan —apalagi yang bersentuhan dengan perilaku anarkis— mereka harus memandangnya sebagai sebuah persoalan bangsa yang lebih luas dan lebih mengedepankan nilai-nilai moral sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan keberagaman. Kita, rakyat Indonesia perlulah lebih ikhlas memandang sebuah permasalahan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia!

Tiba-tiba saja saya kembali teringat pada sebaris kalimat pamflet yang (bagi saya) dapat menjadi pondasi kita dalam memandang setiap permasalahan secara lebih bijaksana: Karena kita sudah sepakat berdemokrasi, maka sesungguhnya kita pun tak bermasalah dengan perbedaan. Ah, ternyata kita memang belum siap menerima keberagaman dan perbedaan sebagai sebuah kenicayaan di negeri ini!

Sebuah ocehan ngelantur atas Insiden Monas, 1 Juni 2008.
Tiba-tiba saja, otak dan tangan saya ikut bertikai saat membuat celotehan ini.
Muntahkan pikiranmu, sobat...

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda