Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan

PAST 2011


Karya sastra menghadirkan dan memberikan kebebasan dalam upaya penggalian teks terhadap konteks. Demikian pula dengan sebuah puisi, ia menjadi semacam ruang dialogis dalam upaya untuk menemukan unsur-unsur terdalam dari kekayaan sebuah bait, baris, kata, bahkan sebuah tanda baca: entah berupa fragmentasi puisi ataupun musik puisi.

Untuk mendukung penggalian kreativitas dalam rangka meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra, Komunitas Kertas Budaya kembali menyelenggarakan Lomba Fragmentasi Puisi dan Musik Puisi pada Pekan Apresiasi Sastra dan Teater (PAST) Jembrana 2011, yang akan berlangsung pada:

Hari/Tanggal : Rabu, 20 April s/d Sabtu, 23 April 2011
Pukul : 09.00 – selesai
Tempat : Wantilan Pura Jagatnatha dan Panggung Terbuka Jembrana Tower
Negara, Jembrana - Bali

Pendaftaran sudah dibuka sejak 1 Februari 2011. Setiap peserta dimasing-masing kompetisi kreativitas dikenakan biaya Rp 100 ribu sebagai pengganti biaya cetak materi dan makanan ringan saat acara berlangsung. Selamat menjelajah kreativitas.
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Pluralisme Dalam Genggam Kekuasaan

DENGAN mengenakan busana adat Bali, Wayan Gablor masih suntuk menyeruput kopi panas yang disajikan Mbah Sarinem. Sesekali, tawa kecil menyeruak menimpali guyonan ringan yang dilontarkan pemilik warung kopi berusia senja.

Saya tertegun menyaksikan hal itu. Alangkah indahnya interaksi yang terjalin diantara keduanya. Meski berpuluh-puluh interaksi antara penjual dan pembeli banyak ditemukan di Pasar Senggol Negara, Jembrana, baru kali ini saya merasa takjub. Entahlah! Barangkali, saya hanya baru tersadar jika sesungguhnya terbersit makna dan pesan moral besar yang bersembunyi di balik drama kehidupan sederhana yang dilakoni dua orang berbeda keyakinan itu (Hindu dan Muslim).

Pluralisme! Tiba-tiba saja kata sakral itu terngiang-ngiang di telinga. Mungkin saja, kata itu telah menjadi asing di tengah pergaulan masyarakat. Tapi di kampungku (Jembrana), semua itu adalah keniscayaan. Kesejatian nilai-nilai pluralisme masih mengada dan tetap terjaga seiring tumbuhnya egoisme di dalam benak setiap masyarakat suatu wilayah dalam kehidupan kekinian.

Jembrana adalah sebuah wilayah peradaban kecil Bali yang tidak “Bali”. Berbeda dengan Bali Timur, Bali Selatan, ataupun Bali Utara, Jembrana yang dibentuk dari heterogenitas penduduknya menjadi demikian bersahaja di tengah perbedaan dan keberagamannya.

Penghargaan atas nilai-nilai pluralisme yang terjalin dan terjaga hingga saat ini sesungguhnya telah tercipta sejak lama, bahkan sejak Jembrana masih dipimpin oleh seorang raja. Kuatnya solidaritas antar pemeluk umat beragama di Jembrana dapat dilihat dari keberadaan Kampung Melayu Loloan yang didominasi penduduk asal Bugis dengan “bahasa kampung”-nya, atau juga perkampungan Kristen di daerah Blimbingsari dan Ekasari yang masih terjaga hingga sekarang. Mereka hidup berdampingan dengan orang Bali (suku Bali), tanpa ada gesekan-gesekan sosial yang berarti.

Indonesia Kecil
Sisi unik Kabupaten Jembrana diantara peradaban-peradaban lainnya di Indonesia berangsur-angsur menjadi semacam identitas yang melekat kuat pada kabupaten yang terkenal dengan kesenian Jegog Mebarung-nya tersebut. “Jembrana adalah Indonesia Kecil atau miniatur Indonesia. Di sini, kita bisa melihat bagaimana dinamisnya kehidupan sosio kultural dari keberadaan masyarakat yang heterogen ini,” demikian garis besar pandangan yang mengemuka atas pluralisme di Kabupaten Jembrana, yang juga sempat dilontarkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, Jro Wacik.

Apa makna dibalik semua itu? Bahwa kebhinnekaan adalah sebuah keniscayaan di Jembrana, pun di Indonesia. Saya pun kembali teringat sebuah pesan pamflet yang ditulis seorang karib; jika telah sepakat berdemokrasi, maka sesungguhnya kita pun tak bermasalah dengan perbedaan. Perbedaan ataupun keberagaman yang tetap mengada di dalam sebuah wilayah bukanlah sesuatu yang nista ataupun patut dipertentangkan di dalam bangunan peradaban bernama Indonesia!

Penyeragaman
Jika berkaca dari realita yang terjadi belakangan ini, pencederaan demi pencederaan atas nilai-nilai kebhinnekaan sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah terjalin dinamis nampaknya tengah terjadi. Sepakat atau tidak, tragedi kemanusiaan (baca: penyeragamaan kebhinnekaan) memang tengah terjadi serta telah dicatat dan menjadi bukti sejarah perjalanan peradaban bangsa ini. Sebutlah itu lahirnya produk Undang-undang Pornografi yang hingga kini masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, (konon) dengan jumlah massa yang berimbang.

Reaksi tercipta. Namun sayang, teriakan-teriakan atas penolakan Undang-undang Pornografi yang diserukan masyarakat seringkali terbentur tembok tebal nan bebal di tingkat elit. Suara-suara menjelma sumbang di telinga mereka. Atas kondisi ini, hanya ada dua pilihan yang dimiliki masyarakat. Pilihan pertama tentu saja dengan mengambil perilaku partisipatif yang diistilahkan dengan partisipasi diam. Dalam artian, sebagai warga negara, kita memposisikan diri hanya dengan duduk dan bersikap manis, dengan mengambil lakon sebagai penonton dalam parodi kehidupan hukum dan politik bernama Undang-undang Pornografi.

Sementara pilihan kedua, kita sebagai warga negara dapat melakukan pembangkangan demi pembangkangan atas keberadaan Undang-undanga Pornografi, seperti yang gencar dilakukan beberapa komponen bangsa ini, terutama oleh masyarakat yang berasal dari Papua, Bali, Sulawesi dan Yogjakarta. Termasuk juga, beberapa anak bangsa yang memiliki kepedulian lebih atas keutuhan bangunan peradaban bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman (pluralitas) sebagai sebuah keniscayaan insaniah, sekaligus ilahiah.

Jalan mana yang akan dipilih? Tentunya ini kembali pada hati nurani masing-masing. Apakah akan membiarkan kemunafikan tetap berlangsung dengan dalih menyelamatkan moral bangsa, atau melakukan aksi sebagai bentuk reaksi atas ketidaksepahaman kita sebagai sesama warga negara. Entahlah, saya tidak tahu!

Lupa
Barangkali, sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif atas realita yang terjadi sekarang adalah bahwa kita sudah menjadi bangsa yang lupa, tepatnya lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa bahwa kita semua adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bagian bangsa bernama Indonesia. Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Budha. Atau, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN. Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-dia orang jahat, aku orang beriman–dia orang kafir, aku penguasa–dia hanya rakyat jelata, aku tuan rumah–dia pendatang, dan seterusnya.

Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membesarkan bangsa ini. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa bahwa saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak bangsa ini sama-sama berperan, dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur sekalipun.

Kita lupa bahwa kita memiliki peran masing-masing untuk memerdekakan bangsa ini. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing. Maka mulai saat ini, kita harus sadar dari “mabuk” berkepanjangan bahwa kita adalah masyarakat bangsa Indonesia. Bahwa kita adalah milik bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Selebihnya, tidak ada!
Muntahkan pikiranmu, sobat...

………………….

Jika ada hal yang kutakutkan, barangkali itu adalah sebuah kehilangan….
(Kebohongan, candaan. Mungkin ini yang mengawali kisah percintaanku dengannya. Gadis kecil yang diselimuti nada-nada di sekelilingnya)

TAK pernah sedikitpun terbayangkan jika aku akan menjalin asmara dengannya. Sungguh, ia hanyalah gadis yang biasa. Jika ada hal yang istimewa darinya, itu hanyalah suaranya. Saat itu aku hanya jatuh cinta pada suaranya, bukan pada pemilik suara itu. Hanya suaranya saja!

Di suatu masa di senja itu, diantara keriuhan alunan gitar, perkusi, biola, bas, suling, suara fals dan sumbang, sesekali aku mencuri pandang kepadanya. Menikmati suaranya, mendengarkan bait demi bait lagu yang mengalun dari bibirnya. Seksi….

Aku ingin mendapat perhatian lebih darinya. Meski ku tahu, sesekali, ia juga melempar pandang padaku, menawarkan senyum abadi yang hingga kini masih setia diberikannya untukku. Aku merasa teduh, mendapatkan sesuatu yang hingga kini masih menjadi milikku. Utuh.

*****

“Kemarin itu kakak ngomong apa, sich?”

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Siemens-ku di senja itu, hampir dua tahun silam. Aku mengerti maksudnya. Ia memang seorang gadis kecil yang tak pernah merasa “tenang” apabila tidak menemukan jawaban yang memuaskannya. SMS itu bermula ketika aku membisikkannya kalimat tak jelas di telinganya, di sela-sela latihan persiapan latihan musikalisasi kelompok kami —Penyanyi Sakit Jiwa.

“Gak ada apa-apa. Aku hanya menggumam gak jelas,” kataku sekenanya.

Seperti yang sudah ku duga, jawabanku tak memuaskannya. Ia kembali memberondongku dengan berbagai pertanyaan, masih dalam konteks yang sama.

Aku bingung. Diantara kemelut itulah, sifat jahilku kambuh lagi.

“I love you.” Aku mengiriminya SMS seraya menyeringai. Sungguh, sama sekali tak pernah terpikir aku akan mengirim pesan seperti itu. Aku diam saja, menunggu reaksinya yang rupanya disambutnya dengan makna pesan yang sama.

*****

Hampir dua tahun aku menjalani percintaanku dengannya. Belakangan akhirnya ku tahu jika ia hanya bercanda ketika mengungkapkan memiliki perasaan yang sama denganku. Ya, sama sepertiku ketika pertama kali mengungkapkan “cinta” padanya. Percintaan kami diawali dengan sebuah kebohongan, candaan, guyonan, yang akhirnya justru melabuhkan perasaan yang awalnya kami ingkari ke dalam satu komitmen percintaan yang tulus, apa adanya.

Dengan Andari —gadis kecil itu, aku menemukan kisah percintaan yang tak biasa. Aku begitu nyaman. Tidak ada kepura-puraan dalam cinta kami. Aku dan dia!

Sampai kini, kami telah terbiasa bersama. Hampir setiap hari, waktuku kuhabiskan untuk menemaninya. Meski kadang bosan merayap, aku tetap berusaha bertahan seraya meyakini, dialah gadis itu. Gadis yang akan menemaniku, hari ini dan esok nanti. Gadis yang akan memandangku dengan tatapan teduh penuh cinta. Gadis yang akan senantiasa setia memberiku senyum tulus, tanpa keterpaksaan, meski sangat berbeda dengan senyum yang seringkali ku berikan padanya.

Maka, jika ada hal yang kutakutkan dalam dunia ini, barangkali itu adalah sebuah kehilangan. Bukan kehilangan Andari, tapi kehilangan perasaannya, senyumnya, tatapan teduhnya dan ketulusan cintanya yang hingga kini masih kurasakan, sama seperti ketulusan yang ditawarkannya dulu.Ya, aku takut kehilangan itu semua!

-------THE END-------


Nb:
Cerita ini tak hendak kuberi judul. Aku tak ingin kisah ini hanya berjalan ataupun berhenti sebatas peristiwa biasa saja.

Jika suka dengan kisah ini, vote saya, heheee.... Cukup KLIK dan beri KOMENTAR di link ini saja.

'Kontes
Peserta kontes cerita cinta, Vote meDidukung oleh Seno
Muntahkan pikiranmu, sobat...

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda