Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Ketenangan dan “Kemenangan” yang (Masih) Enggan Kurayakan

Aku selalu ingin menuju rumah itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang terus saja menggodaku untuk menapakkan kaki di istana agung, yang (konon) menawarkan sejuta kesejukan bagi setiap hati yang sepi.

Sungguh, aku sangat ingin berada di sana. Tapi jalan di depan terlampau sulit. Bukit-bukit berbatu yang hanya menyisakan jalanan setapak nan terjal ini meruntuhkan keangkuhanku. Adakah jalan lain yang lebih sederhana menuju rumah itu?

Istana itu sangatlah sederhana. Tapi keagungannya mampu mengaburkan segala sudut pandang tentang definisi kesederhanaan. Ia telah menjadi tujuan akhir bagi setiap orang, juga bagiku. Sekali waktu, ijinkan aku berada di sana. Meneguk secangkir teh manis, bersama ibu yang telah menunggu di ambang pintu.

Aku ingin pulang. Sesekali saja, walaupun akhirnya aku akan kembali pergi dan melanjutkan sisa-sisa pengabdianku di rumah yang lainnya.

Sesungguhnya, aku telah lama mencari jalan kepulangan bagi setiap orang. Tapi semakin aku mencarinya, berusaha mendekatinya, saat itu pula ia kemudian menjauh. Begitulah seterusnya. Jalanan penuh darah dan nanah itu telah mempermainkanku dan menumbuhkan kesadaranku; janganlah kamu mencarinya. Biarkan jalan itu yang menghampirimu. Persiapkan jiwamu untuk menyambut jalan kepulanganmu!

*****

Kemarin, jalan lapang itu (kembali) dibuka bagi setiap orang. Tapi nampaknya itu bukanlah untukku. Aku terlalu sibuk menjalani apa yang memang seharusnya kulakukan. Menjalankan hukuman sebagai seorang anak dari sosok mahluk yang lainnya. Aku merasa tak pantas ikut dalam upacara kemenangan itu. Aku enggan merayakannya.

Karena aku, hanyalah sepenggal kata dalam semesta. Hanya sepenggal saja! Aku terlampau kecil untuk menyatu dalam upacara ini. Maka seperti bulan-bulan sebelumnya, aku kembali berdamai dengan diriku sendiri. Ya, aku memang lebih memilih berdamai dengan hatiku saja. Seraya berharap, kemenangan itu akan datang kembali, hanya untukku. Sebuah kemenangan yang memang kuperjuangkan dengan pikiran, perkataan dan perbuatanku. Dengan kemenangan inilah, aku merasa cukup pantas kembali berada dalam rumah itu. Menyatu kembali denganNya di dalam rumah Tuhan.

Renungan Hari Raya Galungan,
konon merupakan upacara kemenangan dharma melawan adharma

Gambar diambil dari sini
Muntahkan pikiranmu, sobat...

Dimana Agama (Tuhan) Kita?

Bahwasannya agama diciptakan untuk mengatur perilaku manusia sehingga menciptakan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (dalam Hindu disebut sebagai Tri Hita Karana). Tapi jika kemudian terjadi bentrokan fisik antar massa yang mengatasnamakan agama, lantas dimanakah kesejatian agama kita?
Potret buram ini (masih) jelas terbayang di benak kita. Tak jarang pemeluk suatu agama terlibat bentrok fisik dengan pemeluk agama lainnya. Inilah adalah sebuah ironi di negeri ini. Kita yang telah sepakat menempatkan agama sebagai jalan keluar atas segala permasalahan duniawi seorang manusia ternyata dijadikan tameng untuk kepentingan pribadi atau golongan-golongan tertentu.

Atau dengan kata lain, ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja (atau tidak sengaja?) berlindung di balik nama besar agama dan ajaran-ajaran Tuhan untuk melakukan tindakan yang justru tidak sesuai atau menyimpang dari kesejatian ajaran agama itu sendiri!

Sebagai contoh, kita boleh berkaca pada tragedi Bom Bali 1 yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Bali. Yang lebih miris, pelaku (Amrozy, cs) justru mengklaim bahwa tindakannya itu sesuai dengan ajaran agama. Ia berdalih bahwa sedang melaksanakan jihad untuk meluruskan perilaku-perilaku manusia yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang dianutnya. Pekik Allahu Akbar pun selalu diteriakkannnya.

Atau juga, peristiwa aktual yang terjadi diantara sesama kaum muslim. Aliran Amadiyah dianggap sebagai sebuah aliran sesat yang harus ”diberantas”. Maka, sesama umat muslim pun berbenturan, yang disertai pembakaran tempat ibadah sekelompok orang menganut aliran Amadiyah. Bahkan ironisnya, terlontar pernyataan bahwa membunuh orang yang menganut aliran tersebut dibenarkan oleh agama!

Secara sederhana, tentunya kita digiring pada sebuah pertanyaan; dimanakah letak kesalahan aliran tersebut sehingga tidak diijinkan keberadaannya? Apakah sedemikian sesatnya aliran ini hingga membunuh pengikutnya bukanlah perbuatan yang berdosa? Atau, bukankah perilaku oknum-oknum yang telah melakukan pembakaran rumah Tuhan tersebut dapat digolongkan sebagai perilaku sesat seorang hamba Tuhan? Dan jika demikian keadaannya, dimanakah kesejatian agama kita? Apakah agama yang ada sekarang masih relevan digunakan setelah direcoki pandangan oknum-oknum yang mengatasnamakannya?

Tapi yang jelas, atas berbagai realita yang terjadi dalam kehidupan kekinian, saya menjadi ”takut” beragama! Cukuplah saya hanya memeluk agama cinta seraya berkeyakinan bahwa Tuhan itu memang ada. Dan saya yakin pula bahwa Tuhan tidak perlu dibela karena Ia telah memiliki caraNya sendiri untuk mengadili umatnya yang telah menyimpang dari perintahNya!

Seperti yang dituliskan teman saya, Nanoq da Kansas, dalam esay Ngomongin Tuhan; "Saya dan Tuhan ndak pernah saling ketemu. Tapi yang pasti, kami sama-sama saling sayang. Maka seringkali kami sama-sama diam sambil mengurus diri sendiri". Ya, Tuhan tidak perlu dibela. Dan kita, tidak perlu pura-pura sayang kepadaNya!
Muntahkan pikiranmu, sobat...

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda