Perempuan dalam Penjara Tubuh Lelaki

Ada dua kata kunci yang digeluti Ida Ayu Wayan Arya Satyani sebagai seorang penari, koreografer, penulis lirik, dan sutradara. Pertama, kehidupan sebagai proses upacara untuk “menjadi”; kedua, laku apa pun yang diperankan manusia merupakan persembahan kepada sesama manusia, semesta, dan Tuhan, yang memiliki kedekatan sangat erat dengan tradisi lokal. Dalam drama tari Legong Topeng Ni Dyah Tantri berdurasi hampir 60 menit yang dipentaskan di Panggung Genta Sidhi, Ambara Stage di Desa Mas, Ubud, Sabtu (29/1), ia dibantu rekannya I Made Tegeh Okta Wahyu Mahery (penata tari) dan I Wayan Rumika S.Sn (penata tabuh) menghadirkan kisah ini sebagai pergulatan-pergulatan yang terjadi di dalam dan diluaran seorang perempuan, termasuk pula penjara-penjara dalam tubuh lelaki.


Dalam pandangan umum, kisah Ni Dyah Tantri dikenal sebagai dongeng pengantar tidur anak-anak di Bali yang sarat pesan dan makna. Ia menjadi inspirasi bagi gadis-gadis kecil pendengar kisah ini agar kelak tumbuh menjadi luh luwih (perempuan yang utama). Dalam aspek predhana dalam konsep purusha-predhana atau ardhanareswari, keberadaan perempuan sangat berpengaruh pada suatu proses penciptaan. Perempuan adalah garbha (rahim –dunia kecil) bagi suatu kelahiran kondisi (dunia besar).

Mulanya kisah ini ditulis pada tahun 1728 oleh Ida Pedanda Nyoman Pidada dan Ida Pedanda Ketut Pidada, dua pedanda bersaudara dari Griya Punia Sidemen, Karangasem. Bertutur indah, menjalin puluhan bahkan ratusan versi kisah tentang binatang yang pandai bicara, layaknya cermin bagi manusia dalam menjalankan tata krama hidup.

Legong Topeng Ni Dyah Tantri berkisah tentang sebuah negeri yang dipimpin oleh Prabu Eswaryadala. Ia seorang raja, didampingi pendeta utama, patih bijak bernama Ki Patih Bandeswarya, dan para punggawa di Kerajaan Patali, negeri makmur dan disegani para raja di wilayah Jambuwarsa. Di masa kekuasaannya, Prabu Eswaryadala mendengar senantiasa tembang yang mengalun merdu: suara-suara hening dalam dirinya sendiri, suara tentang pembebasan batas-batas kekuasaan antara seorang raja dengan rakyatnya. Toh dalam kenyataannya, Prabu Eswaryadala tak mampu membebaskan dirinya dari segala keterikatan. Kekuasaan, hawa nafsu, dan ke-aku-an sebagai seorang raja telah menjadi penjara-penjara bagi tubuhnya: sebuah batasan yang mengikat dan membelenggu dengan mengabaikan kebebasan nurani, bagi dirinya sendiri.

Titah raja adalah kuasa. Dan itu pun digunakan Prabu Eswaryadala untuk mempersunting perawan setiap harinya, kemudian memiliki Ni Dyah Tantri, putri Ki Patih Bandeswarya, pada akhirnya. Tiap malam, bunga negeri berguguran. Ni Dyah Tantri yang mengetahui kesedihan ayahnya akhirnya memutuskan dan meminta agar dirinya yang dihaturkan berikutnya.

Dalam babak ini, menarik dicermati bagaimana Ni Dyah Tantri berusaha menumbuhkan dan memberi pemahaman bersikap kepada Prabu Eswaryadala sebagai seorang raja, dengan kisah-kisah yang diperankan oleh binatang yang divisualisasikan oleh Sekaha Wayang Dwipama. Sebagai sebuah simbolik, Ni Dyah Tantri merupakan bentuk keagungan dan kesempurnaan yang (semestinya) dimiliki seorang perempuan; cantik, cerdas, bijak, serta situasional. Dengan menggunakan dasar pelegongan dan patopengan, Dayu Ani –demikian Ida Ayu Wayan Arya Satyani akrab disapa—menampilkan Legong Topeng Ni Dyah Tantri secara dramatik dan berada pada wilayah abu-abu dengan menggunakan ragam simbolik yang memungkinkan lahirnya ruang penjelajahan makna yang demikian luas.

Otokritik
Dipentaskannya Legong Topeng Ni Dyah Tantri yang sekaligus menjadi penanda Grand Opening Sanggar Genta Sidhi menjadi dua hal yang saling bersilangan. Seorang pemimpin, entah itu dalam skala kecil (bagi dirinya sendiri) maupun dalam kehidupan yang lebih universal, semestinya menikahi tiga aspek meliputi keindahan (sundharam), kebenaran (satyam), serta kesucian (siwam), yang melekat dalam tokoh Ni Dyah Tantri, yang diperankan Ida Ayu Wayan Prihandari.

Menarik dicermati di sini “keberanian” Dayu Ani menciptakan karya tersebut. Sebagai seorang perempuan, Dayu Ani tentu sangat menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam diri seorang perempuan, yang disadari atau tidak, turut berperan menciptakan penjara-penjara yang mengada dalam tubuh setiap lelaki.

“Kita harus jujur bahwa tidak setiap perempuan mampu bersikap cerdas dan situsional. Dalam setiap tindakan, seorang perempuan acapkali lebih mengutamakan perasaan. Ini jelas tidaklah tepat. Perempuan adalah penyeimbang atas sifat dan sikap lelaki. Disini, kecerdasan dalam mengelola permasalahan dalam suatu kondisi wajib dimiliki setiap perempuan. Karya ini juga menjadi semacam pelecut yang mengingatkan diri saya sendiri bagaimana memosisikan diri sebagai perempuan,” tegasnya diantara beberapa penonton yang masih memadati Ambara Stage usai pementasan.

Dari Desa
Legong Topeng Ni Dyah Tantri melibatkan puluhan penari dan penabuh, yang sebagian besar berasal dari Desa Mas. Diperkuat beberapa sanggar seni seperti Pasraman Saraswati Mahapradnya Desa Penyantur Saren, Budakeling; Sanggar Bajra Sandhi; Sekaha Wayang Dwipama; Ying Lu Na, pemain pipa asal China; serta pemain didgeridoo dan alat-alat tradisi asal Bandung bernama Ajat Lesmana, membuat pementasan tersebut seperti upaya pengumpulan daya dari desa. Ini sejalan dengan tujuan awal pembentukan Sanggar Genta Sidhi untuk mengembalikan kemurnian berbagai laku hidup yang senantiasa bergerak cepat dan dinamis.

“Mengembalikan kemurnian hidup berarti harus siap melakoni setiap geraknya dengan sederhana dan kerendahan hati. Kesenian hadir sebagai salah satu daya upaya pembinaan manusia agar lebih mampu menghargai keberadaannya dalam sebuah hubungan jaringan sosial,” ucap Ayu Laksmi yang hadir dalam pagelaran tersebut.

Apresiasi juga mengalir dari Cok Sawitri, budayawan,. aktor, sutradara, dan penulis asal Sidemen Karangasem. Menurutnya, seniman dalam konteks social capital adalah penggerak tindakan-tindakan estetik yang justru mencerminkan tindakan nyata dari keinginan, semangat kegotongroyongan yang diimpikan oleh negara. Sebuah stage dengan pemanggungan serta kreatornya, adalah penggerak dan tindakan dari gerakan sosial itu. Di masa depan, ia akan menjadi pembanding kekuatan yang kritis terhadap kapitalisasi yang tengah terjadi di segala lini.

“Sanggar Seni Genta Sidhi tentu akan menjadi kontributor pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa sosial, dan tanpa sadar akan menjadi kontributor pada pemerataan ekonomi. Ini akan terjadi jika ia tidak berkhianat pada prinsip-prinsip hubungan antar individu yang bermartabat dan menghormati harkat, serta menjauhi pemikiran ekonomi secara sempit, dengan memberi penghargaan terhadap human resourses manusia dan kemanusiaannya,” demikian Cok Sawitri.

Lihat Tulisan Lainnya:



Posting Komentar

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda