Bahwasannya agama diciptakan untuk mengatur perilaku manusia sehingga menciptakan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (dalam Hindu disebut sebagai Tri Hita Karana). Tapi jika kemudian terjadi bentrokan fisik antar massa yang mengatasnamakan agama, lantas dimanakah kesejatian agama kita?
Potret buram ini (masih) jelas terbayang di benak kita. Tak jarang pemeluk suatu agama terlibat bentrok fisik dengan pemeluk agama lainnya. Inilah adalah sebuah ironi di negeri ini. Kita yang telah sepakat menempatkan agama sebagai jalan keluar atas segala permasalahan duniawi seorang manusia ternyata dijadikan tameng untuk kepentingan pribadi atau golongan-golongan tertentu.
Atau dengan kata lain, ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja (atau tidak sengaja?) berlindung di balik nama besar agama dan ajaran-ajaran Tuhan untuk melakukan tindakan yang justru tidak sesuai atau menyimpang dari kesejatian ajaran agama itu sendiri!
Sebagai contoh, kita boleh berkaca pada tragedi Bom Bali 1 yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Bali. Yang lebih miris, pelaku (Amrozy, cs) justru mengklaim bahwa tindakannya itu sesuai dengan ajaran agama. Ia berdalih bahwa sedang melaksanakan jihad untuk meluruskan perilaku-perilaku manusia yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang dianutnya. Pekik Allahu Akbar pun selalu diteriakkannnya.
Atau juga, peristiwa aktual yang terjadi diantara sesama kaum muslim. Aliran Amadiyah dianggap sebagai sebuah aliran sesat yang harus ”diberantas”. Maka, sesama umat muslim pun berbenturan, yang disertai pembakaran tempat ibadah sekelompok orang menganut aliran Amadiyah. Bahkan ironisnya, terlontar pernyataan bahwa membunuh orang yang menganut aliran tersebut dibenarkan oleh agama!
Secara sederhana, tentunya kita digiring pada sebuah pertanyaan; dimanakah letak kesalahan aliran tersebut sehingga tidak diijinkan keberadaannya? Apakah sedemikian sesatnya aliran ini hingga membunuh pengikutnya bukanlah perbuatan yang berdosa? Atau, bukankah perilaku oknum-oknum yang telah melakukan pembakaran rumah Tuhan tersebut dapat digolongkan sebagai perilaku sesat seorang hamba Tuhan? Dan jika demikian keadaannya, dimanakah kesejatian agama kita? Apakah agama yang ada sekarang masih relevan digunakan setelah direcoki pandangan oknum-oknum yang mengatasnamakannya?
Tapi yang jelas, atas berbagai realita yang terjadi dalam kehidupan kekinian, saya menjadi ”takut” beragama! Cukuplah saya hanya memeluk agama cinta seraya berkeyakinan bahwa Tuhan itu memang ada. Dan saya yakin pula bahwa Tuhan tidak perlu dibela karena Ia telah memiliki caraNya sendiri untuk mengadili umatnya yang telah menyimpang dari perintahNya!
Seperti yang dituliskan teman saya, Nanoq da Kansas, dalam esay Ngomongin Tuhan; "Saya dan Tuhan ndak pernah saling ketemu. Tapi yang pasti, kami sama-sama saling sayang. Maka seringkali kami sama-sama diam sambil mengurus diri sendiri". Ya, Tuhan tidak perlu dibela. Dan kita, tidak perlu pura-pura sayang kepadaNya!
Atau dengan kata lain, ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja (atau tidak sengaja?) berlindung di balik nama besar agama dan ajaran-ajaran Tuhan untuk melakukan tindakan yang justru tidak sesuai atau menyimpang dari kesejatian ajaran agama itu sendiri!
Sebagai contoh, kita boleh berkaca pada tragedi Bom Bali 1 yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Bali. Yang lebih miris, pelaku (Amrozy, cs) justru mengklaim bahwa tindakannya itu sesuai dengan ajaran agama. Ia berdalih bahwa sedang melaksanakan jihad untuk meluruskan perilaku-perilaku manusia yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang dianutnya. Pekik Allahu Akbar pun selalu diteriakkannnya.
Atau juga, peristiwa aktual yang terjadi diantara sesama kaum muslim. Aliran Amadiyah dianggap sebagai sebuah aliran sesat yang harus ”diberantas”. Maka, sesama umat muslim pun berbenturan, yang disertai pembakaran tempat ibadah sekelompok orang menganut aliran Amadiyah. Bahkan ironisnya, terlontar pernyataan bahwa membunuh orang yang menganut aliran tersebut dibenarkan oleh agama!
Secara sederhana, tentunya kita digiring pada sebuah pertanyaan; dimanakah letak kesalahan aliran tersebut sehingga tidak diijinkan keberadaannya? Apakah sedemikian sesatnya aliran ini hingga membunuh pengikutnya bukanlah perbuatan yang berdosa? Atau, bukankah perilaku oknum-oknum yang telah melakukan pembakaran rumah Tuhan tersebut dapat digolongkan sebagai perilaku sesat seorang hamba Tuhan? Dan jika demikian keadaannya, dimanakah kesejatian agama kita? Apakah agama yang ada sekarang masih relevan digunakan setelah direcoki pandangan oknum-oknum yang mengatasnamakannya?
Tapi yang jelas, atas berbagai realita yang terjadi dalam kehidupan kekinian, saya menjadi ”takut” beragama! Cukuplah saya hanya memeluk agama cinta seraya berkeyakinan bahwa Tuhan itu memang ada. Dan saya yakin pula bahwa Tuhan tidak perlu dibela karena Ia telah memiliki caraNya sendiri untuk mengadili umatnya yang telah menyimpang dari perintahNya!
Seperti yang dituliskan teman saya, Nanoq da Kansas, dalam esay Ngomongin Tuhan; "Saya dan Tuhan ndak pernah saling ketemu. Tapi yang pasti, kami sama-sama saling sayang. Maka seringkali kami sama-sama diam sambil mengurus diri sendiri". Ya, Tuhan tidak perlu dibela. Dan kita, tidak perlu pura-pura sayang kepadaNya!
4 komentar sahabat:
yuhuu, setuju banget nih,tuhan gak pernah nyuruh manusia buat membelanya. (kayanya obrolan ttg tuhan akan bisa sangaaaat panjang!hehe)
Sejatinya agama hanya milik Tuhan semata.. Kita sebagai hamba-Nya dengan segala keterbatasan mencoba untuk "sesempurna mungkin" menerapkan ajaran-Nya. Dan keterbatasan kita itulah yang membuat "ini" semua terjadi..
Alangkah berdosanya apabila kita hanya sekedar berpura-pura sayang kepada Tuhan. Karena Tuhan dengan segala kekuasan-Nya telah menganugerahkan "rasa sayang" itu di tiap hembus nafas kita..
hmmmm....
Posting Komentar