Pluralisme Dalam Genggam Kekuasaan

DENGAN mengenakan busana adat Bali, Wayan Gablor masih suntuk menyeruput kopi panas yang disajikan Mbah Sarinem. Sesekali, tawa kecil menyeruak menimpali guyonan ringan yang dilontarkan pemilik warung kopi berusia senja.

Saya tertegun menyaksikan hal itu. Alangkah indahnya interaksi yang terjalin diantara keduanya. Meski berpuluh-puluh interaksi antara penjual dan pembeli banyak ditemukan di Pasar Senggol Negara, Jembrana, baru kali ini saya merasa takjub. Entahlah! Barangkali, saya hanya baru tersadar jika sesungguhnya terbersit makna dan pesan moral besar yang bersembunyi di balik drama kehidupan sederhana yang dilakoni dua orang berbeda keyakinan itu (Hindu dan Muslim).

Pluralisme! Tiba-tiba saja kata sakral itu terngiang-ngiang di telinga. Mungkin saja, kata itu telah menjadi asing di tengah pergaulan masyarakat. Tapi di kampungku (Jembrana), semua itu adalah keniscayaan. Kesejatian nilai-nilai pluralisme masih mengada dan tetap terjaga seiring tumbuhnya egoisme di dalam benak setiap masyarakat suatu wilayah dalam kehidupan kekinian.

Jembrana adalah sebuah wilayah peradaban kecil Bali yang tidak “Bali”. Berbeda dengan Bali Timur, Bali Selatan, ataupun Bali Utara, Jembrana yang dibentuk dari heterogenitas penduduknya menjadi demikian bersahaja di tengah perbedaan dan keberagamannya.

Penghargaan atas nilai-nilai pluralisme yang terjalin dan terjaga hingga saat ini sesungguhnya telah tercipta sejak lama, bahkan sejak Jembrana masih dipimpin oleh seorang raja. Kuatnya solidaritas antar pemeluk umat beragama di Jembrana dapat dilihat dari keberadaan Kampung Melayu Loloan yang didominasi penduduk asal Bugis dengan “bahasa kampung”-nya, atau juga perkampungan Kristen di daerah Blimbingsari dan Ekasari yang masih terjaga hingga sekarang. Mereka hidup berdampingan dengan orang Bali (suku Bali), tanpa ada gesekan-gesekan sosial yang berarti.

Indonesia Kecil
Sisi unik Kabupaten Jembrana diantara peradaban-peradaban lainnya di Indonesia berangsur-angsur menjadi semacam identitas yang melekat kuat pada kabupaten yang terkenal dengan kesenian Jegog Mebarung-nya tersebut. “Jembrana adalah Indonesia Kecil atau miniatur Indonesia. Di sini, kita bisa melihat bagaimana dinamisnya kehidupan sosio kultural dari keberadaan masyarakat yang heterogen ini,” demikian garis besar pandangan yang mengemuka atas pluralisme di Kabupaten Jembrana, yang juga sempat dilontarkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, Jro Wacik.

Apa makna dibalik semua itu? Bahwa kebhinnekaan adalah sebuah keniscayaan di Jembrana, pun di Indonesia. Saya pun kembali teringat sebuah pesan pamflet yang ditulis seorang karib; jika telah sepakat berdemokrasi, maka sesungguhnya kita pun tak bermasalah dengan perbedaan. Perbedaan ataupun keberagaman yang tetap mengada di dalam sebuah wilayah bukanlah sesuatu yang nista ataupun patut dipertentangkan di dalam bangunan peradaban bernama Indonesia!

Penyeragaman
Jika berkaca dari realita yang terjadi belakangan ini, pencederaan demi pencederaan atas nilai-nilai kebhinnekaan sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah terjalin dinamis nampaknya tengah terjadi. Sepakat atau tidak, tragedi kemanusiaan (baca: penyeragamaan kebhinnekaan) memang tengah terjadi serta telah dicatat dan menjadi bukti sejarah perjalanan peradaban bangsa ini. Sebutlah itu lahirnya produk Undang-undang Pornografi yang hingga kini masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, (konon) dengan jumlah massa yang berimbang.

Reaksi tercipta. Namun sayang, teriakan-teriakan atas penolakan Undang-undang Pornografi yang diserukan masyarakat seringkali terbentur tembok tebal nan bebal di tingkat elit. Suara-suara menjelma sumbang di telinga mereka. Atas kondisi ini, hanya ada dua pilihan yang dimiliki masyarakat. Pilihan pertama tentu saja dengan mengambil perilaku partisipatif yang diistilahkan dengan partisipasi diam. Dalam artian, sebagai warga negara, kita memposisikan diri hanya dengan duduk dan bersikap manis, dengan mengambil lakon sebagai penonton dalam parodi kehidupan hukum dan politik bernama Undang-undang Pornografi.

Sementara pilihan kedua, kita sebagai warga negara dapat melakukan pembangkangan demi pembangkangan atas keberadaan Undang-undanga Pornografi, seperti yang gencar dilakukan beberapa komponen bangsa ini, terutama oleh masyarakat yang berasal dari Papua, Bali, Sulawesi dan Yogjakarta. Termasuk juga, beberapa anak bangsa yang memiliki kepedulian lebih atas keutuhan bangunan peradaban bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman (pluralitas) sebagai sebuah keniscayaan insaniah, sekaligus ilahiah.

Jalan mana yang akan dipilih? Tentunya ini kembali pada hati nurani masing-masing. Apakah akan membiarkan kemunafikan tetap berlangsung dengan dalih menyelamatkan moral bangsa, atau melakukan aksi sebagai bentuk reaksi atas ketidaksepahaman kita sebagai sesama warga negara. Entahlah, saya tidak tahu!

Lupa
Barangkali, sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif atas realita yang terjadi sekarang adalah bahwa kita sudah menjadi bangsa yang lupa, tepatnya lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa bahwa kita semua adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bagian bangsa bernama Indonesia. Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Budha. Atau, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN. Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-dia orang jahat, aku orang beriman–dia orang kafir, aku penguasa–dia hanya rakyat jelata, aku tuan rumah–dia pendatang, dan seterusnya.

Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membesarkan bangsa ini. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa bahwa saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak bangsa ini sama-sama berperan, dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur sekalipun.

Kita lupa bahwa kita memiliki peran masing-masing untuk memerdekakan bangsa ini. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing. Maka mulai saat ini, kita harus sadar dari “mabuk” berkepanjangan bahwa kita adalah masyarakat bangsa Indonesia. Bahwa kita adalah milik bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Selebihnya, tidak ada!

Lihat Tulisan Lainnya:



15 komentar sahabat:

Anonim mengatakan...

seorang anak manusia yang hidup disebuah daerah/kota kecil sekalipun ternyata mampu untuk mengatakan bahwa pluralisme adalah sesuatu yang mesti didengung-dengungkan. Tanpa lagi bicara siapa saya...? Hmmm...salut...

Anonim mengatakan...

wew, ternyata udh lama gak mampir banyak perubahan. sy kesini krn ada backlink di salah satu postinganku.

btw, ini masih wendra yang dulu kan? hehe..
gmn kabarnya?

MUKIYO mengatakan...

Suaramu seharusnya didengar para petinggi negeri ini, yang kini tengah berlomba-lomba menjadi "sang penyelamat NKRI". Dan memang seharusnya ke-Bhineka-an tetap dipertahankan.
Semoga suara kecilmu menginspirasi banyak orang, sehingga negeri ini terselamatkan dari bencana pemersatuan budaya yang bukan budaya Indonesia.

Anonim mengatakan...

pluralisme telah menjadi wacana yang ditulis doang. dan membjadi pembungkus kacang goreng selesai dibaca....

Jatmiko Dwi Antoro mengatakan...

Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu juga,itulah Indonesia,contohnya di Jembrana sana y Wen

Anonim mengatakan...

tapi berkat lupa... kita bisa tidur nyenyak.. lupua mikirin ama utang tuh... wakakaka

Anonim mengatakan...

klo bicara masalah politik nggak ada habis2nya dan semua merasa benar. kalo aku seh mending memberikan sesuatu kepada bangsa sesuai dengan kemampuan saya

Unknown mengatakan...

Waduh saya ga tau soal politik nih !
Saya kesini mau ngajak tuker link mau ga ?
http://kelincex.blogspot.com

Anonim mengatakan...

kadang sebenarnya kita saja yang terlalu membesar2 kan masalah...

e..jangan pluralism deh,,aku lebih suka menyebutnya bersatu...melebur dan jadi satu...

inget filosofi sapu lidi,,
satuy batang mudah patah, kalo banyakj, kan susah bahkan hampir tidak bisa...

tidak usah pandang bulu, dari mana masing2 batang lidi itu berasal (dari pohon mana)...

www.balitopholidays.com mengatakan...

Halo!
Bila anda mencari hotel murah di Bali, silahkan menghubungi kami di 0361 7982865.Best regards;
Made Suparta

Mama Beruang mengatakan...

saya saru dengan kebhinekaan.
orde baru masih mendoktrin. dimana pulo jawa mendominasi.
ini budi
ini tuti
juga panggilan akrab mas/mbak dimana2.
hmmm.. siapa yang mo menjunjung budaya lain selain budaya jawa, hayoooooo.. ditunggu!!

Posting Komentar

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda