Bali Tanpa Bali

“Proyektor itu memantulkan gambar idoep ke selembar kain putih sekitar 2 X 3 meter yang tertempel di tembok. Frame demi frame gambar beringsutan selama kurang lebih lima puluh satu menit di sana, mendongeng tentang hamparan sosiokultural sebuah wilayah di Bali. Namun di sana hampir tidak bisa ditemukan gambaran tentang Bali sebagaimana yang ditemui di televisi atau brosur pariwisata. Hanya beberapa detik saja melintas foto penari legong, figur gadis Bali tempo dulu yang telanjang dada, serta bangunan pura. Selebihnya adalah gambaran sepasang kerbau yang lari dengan beringas dalam makepung; tangkas para penabuh jegog; kendang raksasa dalam gamelan kendang mabarung; penari pencak silat yang berkostum mirip pemain stambul; penari leko yang sekilas tampak cuma meniru kostum penari legong…..” (Bali Tanpa Bali)

Bali Tanpa Bali; satu dari 25 tulisan sebagai bentuk penerjemahan kegelisahan Ibed Surgana Yuga, atas keberadaan Bali. Secara gamblang, Ibed berkeinginan bertutur (berkisah) tentang keberadaan Jembrana sebagai sebuah bangunan sosiokultural Bali yang tidak “Bali” —pandangan terhadap film dokumenter Bali Yang Lain, yang “membantah” gambaran umum tentang Bali yang selama ini dikonsumsi orang luar Bali (atau tak jarang oleh orang Bali sendiri) melalui televisi, info pariwisata, cerita dari mulut ke mulut tentang Bali yang eksotis. Tegasnya, ada satu wilayah Bali yang tidak “Bali”! Bali yang hampir tidak dibangun oleh gadis cantik berkebaya membawa sesajen sambil tersenyum manis dengan background barong dan rangda serta megahnya bangunan pura.

Apa yang dituliskan Ibed; pemuda Bali yang tengah berdiaspora, nampaknya menjadi sebuah bantahan atau “perlawanannya” atas pemahaman Bali dalam pola pikir masyarakat umum. Bahwa Bali adalah Bali; sebuah bangunan budaya yang terbangun dari berbagai sisi putih, bersih, positif. Atau bahkan, hampir tidak ada sisi hitam (kelam) yang membentuk Bali.

Betapa lugasnya orang Bali yang tidak “Bali” ini menyentil berbagai pandangan umum masyarakat. Seperti dalam tulisannya “Nak Bali Apa Sing Bisa Ngigel!”, tampaknya Ibed ingin menyampaikan sebuah pemikiran bahwa tidak selamanya orang Bali adalah “orang Bali”. Bali yang dipandang hanya berdasarkan narasi-narasi yang disusun untuk pencitraan Bali, berdasarkan kenyataan empiris yang terjadi di beberapa wilayah tertentu di Bali, dan memang tetap berjalan hingga kini, yang kemudian memupuk pemahaman bahwa seluruh orang Bali bisa ngigel (menari) sebagai salah satu citra Bali.

*****

Dalam launching buku Bali Tanpa Bali, Ibed mengaku dirinya baru bisa “melihat” Bali ketika tidak berada di wilayah geografis Bali (Jogjakarta). Apakah ini sebuah kekagetan atau cultural shock yang selama ini menjadi semacam kebiasaan (untuk menghindari kata “penyakit”) orang Bali ketika berada di luar Bali? “Mungkin saja begitu,” akunya.

Ibed mengakui, banyak fakta yang didapatkannya ketika berdiaspora di luar Bali. Seperti yang dituturkannya, seorang teman dari Malang sempat terjatuh di Denpasar. Saat itu, tidak ada satu orang Bali pun yang menolongnya. “Katanya orang Bali itu ramah?” kata Ibed menirukan sindiran temannya. Dari peristiwa ini, nampaknya Ibed mencoba menarik atau bahkan mendapat sebuah “sinyal” bahwa ada kekecewaan dari seseorang luar Bali atas jargon-jargon pencitraan yang berkembang di Bali (salah satunya tentang keramahan orang Bali).

Pemahaman atas strategi pencitraan yang selama ini diterjemahkan melalui televisi, info pariwisata ataupun cerita dari mulut ke mulut tentang Bali yang eksotis seringkali menjadi bias ketika orang luar Bali (atau bahkan masyarakat Bali sendiri) menemui realita yang tak sejalan dengan apa yang didengung-dengungkan. Barangkali juga, kisah yang dituturkan Ibed tentang seorang teman dari Malang tersebut hanyalah salah satu tragedi kecil sebagai sebuah “bantahan” atas strategi pencitraan atas eksotisme Bali yang selama ini seringkali didengung-dengungkan. Realita tentang Bali yang feodal, Bali yang gamang, Bali yang fundamentalis, bahkan Bali yang penuh praktek kekerasan.

“Seseorang memberi cap eksotis terhadap sesuatu karena orang itu berada di luar wilayah sesuatu yang dianggapnya eksotis, yang notabene baru dikenalnya. Dengan kata lain, jarak budaya menjadi salah satu penentu klaim eksotis. Penentu lainnya adalah subjektivitas atau cara pandang seseorang, serta pengaruh subjektivitas atau cara pandang orang lain terhadap seseorang itu….” (Bali Tanpa Eksotika)

“Keterasingan”
Jarak geografis telah menciptakan pandangan sendiri bagi seseorang. Dan Ibed, hanyalah salah satunya. Keterasingan demi keterasingan pun melandanya hingga melahirkan berbagai sudut pandang yang nungkalik (bertolak belakang) tentang Bali secara umum. Keterasingannya terhadap bahasa (Bahasa Bali), mungkin salah satunya. Kini ia merasa aneh ketika bahasa sebagai media komunikasi serta transformasi laku serta pikir, mendadak bersikap seperti seorang asing yang harus dikenali terlebih dahulu.

“Suasana komunikasi yang begitu jauh berbeda kami —terutama saya— alami ketika pertemuan di mana ia menggunakan basa Bali alus itu. Saya perhatikan ia, dengan penguasaan basa Bali alus yang agaknya pas-pasan, tertatih-tatih bercakap dengan saya. Saya bisa membaca bahwa ia tidak mampu menggunakan ungkapan yang pas untuk mentransformasikan berbagai ide yang ada dalam pikirannya kepada saya. Ia menjadi orang yang gagap. Saya yang juga tidak terlalu fasih ber-basa Bali alus memilih untuk menjawab dengan bahasa yang biasa, tidak kasar tidak halus….” (Bahasa Bali yang Jauh)

Tidak hanya dalam penggunaan bahasa, ia juga merasakan keterasingan (atau mungkin kehilangan?) akan sebuah perayaan hari raya. Karena tak jarang, tugasnya sebagai mahasiswa ISI Jogjakarta Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Teater memaksanya untuk merelakan hilangnya perayaan demi perayaan (hari raya) seperti yang selama ini dilakoninya di Bali, meskipun kemudian kehilangan itu sirna oleh perayaan hari raya dengan format budaya yang baru.

“…. Walau saya datang ke suatu pura di Jogja untuk sembahyang pada hari raya, dan di sana saya bertemu dengan cukup banyak orang Hindu Bali yang juga sedang merayakan hari raya, namun tetap saja atmosfir hari raya, yang telah dibangun oleh latar belakang sosial saya di Bali, tidak teralami. Demikian pula ketika saya mengikuti berbagai pesta perayaan menjelang Nyepi di Candi Prambanan yang lengkap dengan pernak-pernik ogoh-ogoh itu….” (Hari Raya yang Hilang)

*****

Cukup banyak sentilan-sentilan nakal yang memberi pemahaman baru atas keberadaan Bali dalam tulisan-tulisannya. Ibed adalah seorang Bali yang tidak “Bali” yang tidak sepakat dengan wacana raksasa Ajeg Bali. Ibed adalah seorang Bali yang tidak “Bali” yang apatis dengan sistem kasta atau catur wangsa di Bali. Namun demikian, Ibed juga merupakan seorang Bali yang tidak “Bali” yang sangat prihatin dengan hilangnya produk-produk budaya yang pernah dimiliki leluhur orang Bali (kehilangan kultural).

Terlepas dari konteks sepakat atau tidak, layak atau tidak, (tentunya ini berdasarkan interprestasi masing-masing orang —pembaca), buku Bali Tanpa Bali setebal xiii + 164 halaman terbitan Panakom Publishing bekerja sama dengan Komunitas Kertas Budaya yang merupakan kumpulan tulisan Bali Diaspora di Tabloid Independen News ini mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan. Bahwa sebuah karya nyata jauh lebih baik dari beribu-ribu ide yang melayang-layang di dalam kepala. Akhirnya, selamat membaca!

Lihat Tulisan Lainnya:



7 komentar sahabat:

Unknown mengatakan...

bahkan saya sudah merasa tidak lagi berada di Indonesia ketika tinggal di Indonesia Kang...

Anonim mengatakan...

tulisan bro yang satu ini memang menyala terus dari awal :)

napi gatra, tumben...

belly wijaya mengatakan...

“..punapi gatra?”
klo tyang selalu rindu dengan "bali" walau setiap hari ada di bali, bli :)

Posting Komentar

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda