Mencermati (Lagi) “Pelecehan” Atas Nama Nyepi

Konon, kesucian Nyepi ternoda oleh ulah pemilik akun facebook bernama Ibnu Rachal Farhansyah. Berkali-kali pula, saya menerima pesan melalui via layanan SMS (short massage service) yang menginformasikan masalah ini. Bahwa, Ibnu telah (dianggap) menghina, merendahkan, ataupun melecehkan Hari Suci Nyepi, yang juga berarti mengarah ke umat Hindu Bali secara umum, dengan menulis kalimat Nyepi sepi sehari kaya tai pada status facebook-nya. Pesan itu juga disertai kalimat provokatif; harus kita apakan manusia seperti itu? Sebarin ke orang-orang Bali, Hindu bersatu!

Sungguh, amarah masyarakat Bali memuncak. Tidak hanya bagi mereka yang secara kepercayaan menganut agama Hindu saja, tetapi juga mereka-mereka yang telah tinggal ataupun (mengaku) jatuh cinta pada Bali. Dalam keheningan dan kekosongan Nyepi, tiba-tiba saja ribuan masyarakat Bali dan sebagian kecil warga luar Bali disibukkan dengan aktivitas dan tingkah laku yang sungguh jauh dari esensi Nyepi yang sesungguhnya; membangun toleransi dan kerukunan dengan menerjemahkan kekosongan yang maha agung untuk memenuhi rongga alam penghidupan dan kehidupan duniawi sehingga melahirkan harmoni baru.

Gambaran ini dibuktikan dengan bermunculannya grup-grup baru dalam facebook. Ada beberapa grup untuk menghujat yang tercipta, misalnya yang bernama Usir “Ibnu Rachal Farhansyah” dari Bali hingga Basmi Ibnu Rachal Farhansyah, atau grup atau kelompok yang dibuat Ibnu sendiri dengan titel Maafkan Ibnu Rachal Farhansyah yang ironisnya juga menjadi tempat untuk menghujat, sekaligus mengancam dirinya.

Tidak perlu waktu lama bagi masyarakat Bali untuk mengetahui status Ibnu yang dinilai telah melecehkan kesucian Nyepi tersebut. Sejak Ibnu menulis status tersebut, ribuan hujatan dan umpatan (bahkan kutukan tidak selamat dunia akhirat) telah dilayangkan kepadanya hanya dalam hitungan menit di wall (dinding) grup yang telah diciptakan sebelumnya.

Sayangnya, sepengetahuan saya, hingga kini belum terdapat kejelasan mengenai langkah yang akan diambil masyarakat Bali di dalam menyikapi masalah ini. Beberapa pemilik akun facebook, misalnya Dewa Willy Edc, menyarankan agar merealisasikan tindakan nyata agar kasus ini tidak larut begitu saja dengan membawanya ke ranah hukum.

“Jangan hanya saling caci maki atau menghujat di FB (facebook) saja. Mari kita susun draf pasal-pasal hukum yang menyatakan kalau Ibnu melecehkan agama, lalu kita laporkan atau tuntut Ibnu untuk meminta maaf lewat media kepada seluruh umat Hindu. Kaum intelektual Hindu, mari kita bersatu,” ajaknya dalam forum diskusi bertopik Realisasi Umat Hindu Mana? di grup Usir “Ibnu Rachal Farhansyah” dari Bali.

Dalam forum diskusi yang sama, Dwi Bagus, juga mengisyaratkan hal yang sama. Secara pribadi, ia merasa malu melihat (membaca) makian, kata-kata kasar dari teman-teman penganut Dharma. Ia tidak menginginkan kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa ternyata orang Bali beraninya hanya gertak sambal. “Kita gak usah ngomong apa-apa, tapi langsung ambil tindakan tegas. Jangan sampai ia (maksudnya Ibnu) malah berpikir kalau ternyata orang Bali beraninya cuma omong doang,” sarannya.

Mencermati permasalahan ini, pengkritisan juga harus diberikan. Meski juga harus mengamini bahwa apa yang dilakukan Ibnu merupakan salah satu contoh pelecehan kepada Hindu dan Bali pada umumnya, tetapi sebenarnya pelecehan terhadap Hari Suci Nyepi juga telah kita lakukan, meski tanpa disadari. Hal ini tercermin dari perilaku tidak patut yang ditunjukkan oknum masyarakat Bali dengan membunyikan petasan ataupun bunyi-bunyian dari bambu sebelum perayaan Nyepi usai.

Dari tahun ke tahun, kondisi ini seolah menjadi rutinitas sekaligus permasalahan baru yang tak kunjung usai. Belum lagi dengan adanya bentrok antar desa atau banjar yang kerap terjadi ketika pengerupukan (sehari menjelang Nyepi). Jika kembali pada esensi Nyepi yang bermuara pada toleransi dan kerukunan, hal ini jelas-jelas juga telah mencemarkan Hari Suci Nyepi.

Padahal sesuai surat edaran, Nyepi usai tepat pukul 06.00 Wita. Tapi kenyataannya toh tidak demikian. Lewat jam 12 malam saja sudah terdengar bunyi ledakan yang entah dinyalakan oleh siapa. Ini juga mengganggu, bukan? Ini juga bentuk pelecehan yang berulang.

Meskipun tidak mentolerir perilaku seperti apa yang dilakukan Ibnu, sebisanya, masyarakat harus tetap menjaga citra bahwa Bali dihuni orang-orang intelektual, yang selalu mengedepankan penyelesaian demi kebaikan bersama. Bukan hanya cacian dan ancaman semata, tetapi lebih pada langkah konkret ke jalur hukum. Jangan sampai, kesalahan oknum bernama Ibnu merembet ke masalah agama.

Mari kita jaga keagungan Bali tanpa merusak pemahaman umum masyarakat bahwa orang-orang Bali sangatlah bijaksana di dalam menyikapi setiap permasalahan, meski kesabaran itu ada batasannya!

Lihat Tulisan Lainnya:



3 komentar sahabat:

Florida Drug Treatment mengatakan...

Thanks, great site.. your is one of very few blogs worth taking the time to read..

Posting Komentar

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda