DALAM malam, aku memandangmu. Dari kejauhan. Sama sepertimu. Hanya saja, kita sama-sama berdiam. Membiarkan gerak angin mendekap namaku, namamu. Melambungkan, menghempasnya sekaligus. Seperti lenguh yang kau ciptakan di akhir percakapan. Lalu sunyi, kembali bekerja. Dalam hatimu, hati kita.
Kau masih saja bungkam. Mengunci bahasa-bahasa yang kian memberontak, yang lahir dari tubuhmu. Mengurungnya dalam sekat tak bernama.
Aku ingin mengenangmu. Menyusuri jejakmu pada lintasan berdebu, pohon-pohon tua, trotoar-trotoar, dan riuh pedagang di emper-emper pertokoan. Ketika itu, hari-hari masih bernama, meski tetap bersetia dengan rahasia.
Seperti suaramu, membawaku melebur dalam tubuhmu, lalu menjelma bayang. Berlalu, dan pergi.
Kau masih saja bungkam. Mengunci bahasa-bahasa yang kian memberontak, yang lahir dari tubuhmu. Mengurungnya dalam sekat tak bernama.
Aku ingin mengenangmu. Menyusuri jejakmu pada lintasan berdebu, pohon-pohon tua, trotoar-trotoar, dan riuh pedagang di emper-emper pertokoan. Ketika itu, hari-hari masih bernama, meski tetap bersetia dengan rahasia.
Kisah kita adalah malam: gelap yang tertikam dalam-dalam kesunyian. Sunyi yang melahirkan suara-suara di kedalaman.
Seperti suaramu, membawaku melebur dalam tubuhmu, lalu menjelma bayang. Berlalu, dan pergi.
0 komentar sahabat:
Posting Komentar