Senja dan Taksu di Mata Omink

Kau bilang, “Aku suka senja. Berjuta rahasia bersemayam di balik keindahan pendar merahnya. Serupa kehidupan, yang senantiasa menyimpan misterinya.”

Wajahnya bening. Matanya masih teduh. Tak tampak sedikit pun gurat kekecewaan, walau gerimis kecil yang perlahan menjelma hujan lebat dengan angin menggemuruh, cukup berhasil mencuri keindahan senja yang selalu dinantinya.

Memandang Omink di senja basah itu, sungguh berhasil mencipta kehangatan baru. Ia begitu anggun dengan busana putih yang membalut putih tubuhnya. Obrolan mengalir. Belia dengan lesung kecil di pipinya menimpali percakapan dengan rekah senyum dari bibir merahnya.

Bicaranya yang lepas sedikit berhasil mengungkap takbir di dalam dirinya. Lahir dan dibesarkan di dalam keluarga seniman, Omink ditempa menjadi gadis yang mendedikasikan dirinya pada kesenian tradisional. Sungguh, ia begitu tertarik dengan tari bali. Maka, menjelmalah pemilik nama lengkap Ni Komang Yustika Tribuana Putri menjadi seorang penari, dengan agem yang tekek dan sledet mata sakadi tatit. Dalam bayangan kami, Omink demikian mataksu dalam balutan busana penari bali. Meliukkan gemulai tubuhnya, di tengah gemuruh gamelan yang mengiringi geraknya.

Totalitas dan dedikasinya kepada kesenian juga telah berhasil membawa Omink terbang ke Negeri Sakura. Ketika itu, ia menjadi salah satu duta kesenian Bali dalam pentas kesenian di Jepang. Bahkan tak lama lagi, Omink akan melawat ke Paris, Prancis, menarikan Gegandrungan, berkolaborasi dengan para penari dari Banyuwangi.

Pencapaian di bidang seni tari seperti yang telah diraih Omink bukanlah menjadi tujuan akhir baginya. Omink hanya menempatkannya sebagai hadiah kecil dari apa yang dilakukan dan diperjuangkannya selama ini. Jauh lebih penting lagi, bagaimana menumbuhkan keinginan berbagi atas apa yang dimiliki dan melekat di dalam dirinya. Lahirlah kemudian Bhuana, sebuah sanggar tari sederhana yang didedikasikannya untuk berbagi skill menari dengan anak-anak yang berkeinginan untuk mendalami seni tari bali.

Meski telah banyak yang dilakukannya untuk kesenian, toh itu tidak membuat Omink berbesar hati. Ia tetap gadis belia nan polos yang berusaha menjalani kehidupannya dengan ikhlas. Karena kehidupan senantiasa bergerak, tanpa jeda dan tanpa spasi, Omink tegak melangkah. Menjalani kehidupan sesuai kebenaran yang diyakininya. Doa-doa telah terucap. Semesta mengajarkannya tetap tunduk terhadap apa yang mengitari dirinya. Sebagai bagian sebuah keluarga, seorang siswa, dan menjadi bagian dari peradaban dunia.

Kami memalingkan wajah ke jendela. Senja masih basah. Perlahan, pekat mulai menyelimut. Kubayangkan, semesta berbisik, “Menarilah senantiasa, Omink. Agar dunia tak kehilangan taksu di dirimu....”

Tulisan ini adalah teks Bungan Natah di Ge-M Magazine Edisi September 2009

Lihat Tulisan Lainnya:



Posting Komentar

 
Wendra Wijaya

Buat Lencana Anda